Saat akan meraih knop pintu kamar. Seseorang meraih lenganku.
"Kak. Tolong jangan diambil hati omongan Ibu. Kakak kan tahu, sejak kematian Kak Lana. Kesehatan ibu sedikit terganggu. Ibu lihat Kakak datang aja, Ibu udah senang banget. Ayo Kak. Balik ke meja makan." Ajak Nami.
"Kenapa kamu biarin Ibu kayak gitu? Kakak ga bisa ada disini karena harus kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Tapi kenapa kamu biarin Ibu begitu?" Tuntutku. Seolah menumpahkan semua kesalahan pada adik kecilku.
"Kak, Nami juga udah berusaha sebisa Nami. Tapi kalau Ibu sendiri yang menolak, gimana? Beliau gak mau melupakan Kak Lana. Sementara Kakak juga gak pernah ada disini. Aku sendirian jagain Ibu, Kak Damar. Aku juga capek, Kak. Aku juga sedih." Balas Nami. Tangannya sedikit gemetar kala menggenggam lenganku.
Aku membawa tubuh Nami dalam dekapanku. Dinding pada diri kami masing-masing seolah hancur. Adikku kini menangis sesenggukan. Bahunya bergetar.
Tak terasa air mataku ikut mengalir. Sambil membelai rambut Namira, mataku menerawang kosong. Seolah pikiran-pikiran, kenangan demi kenangan, berlomba merangsek masuk menguasai diriku.
Sepeninggal kakak perempuan kami, kehidupan kami berubah. Kakak perempuan kami yang selalu bisa diandalkan membantu perekonomian keluarga kami, kini sudah tak ada. Kakak yang selalu pulang ke rumah, menjaga ibu dan adiknya, kini tak mungkin bisa pulang ke rumah lagi.
Aku sudah bekerja di luar kota semenjak lulus SMA. Walau hubungan kami tak begitu dekat. Tapi hubungan kami bukan hubungan yang buruk. Tentu aku baru menyadari itu semua semenjak kakakku meninggal. Aku baru menyadari bahwa aku kehilangan saudariku.
Sementara bagi ibu, kakak perempuan kami adalah sosok pemberontak, keras namun sangat perhatian pada keluarganya. Kakak kami, sepertinya memiliki kemiripan dengan ibu. Sehingga mereka sering kali bertengkar.
Saat hari kematian kakak perempuan kami. Tidak ada tangis sedikitpun di wajah ibu. Namun sejak saat itu, tak ada pula senyuman.
Aku terus berusaha lari dari rasa sedihku dengan bekerja dengan giat. Menghasilkan lebih banyak uang. Karena kini sudah tak ada yang bisa membantu perekonomian kami seperti dahulu. Namun perasaan kehilangan itu tak hilang setiap aku kembali ke rumah ini.