Dia nyaris putus asa. Kerja keras selama bertahun-tahun tak nampak hasilnya. Sekali lagi pandangannya mengarah ke bawah kursi. Selembar dua lembar hilang mungkin tak akan dicari anggota dewan yang terhormat. Tapi baginya sangat berarti untuk menyelesaikan masalahnya kali ini. Wawan pun sudah menetapkan keputusan.Â
***
Amplop dari seorang pengusaha sudah ada ditangannya. Langsung dimasukkan ke dalam laci. Memberi sedikit tips untuk sopir yang mengantarkan tak jadi soal. Sekarang hatinya sudah bisa tenang. Menjadi anggota dewan yang terhormat seperti sekarang membutuhkan banyak dana. Menjaga konstituen agar terus loyal, mempertahankan pencitraan di ranah publik untuk mendongkrak perolehan suara, semua butuh biaya.Â
Rumah warisan orang tuanya pun tergadai. Namun kini sudah saatnya menebus kembali apa yang menjadi haknya.Â
Lagipula sebentar lagi lebaran. Banyak yang akan datang dan meminta Tunjangan Hari Raya. Termasuk tim sukses dan keluarga besar di kampung. Jangan sampai dia kehilangan loyalitas hanya karena tak mau mengeluarkan sedikit uang.Â
Dia tersenyum seraya meraih ponsel dan menekan nomornya. Setelah mendapat sahutan dari seberang dia berkata singkat, "Sudah diterima. Tunggu saja izinnya akan keluar."
Tapi senyum itu tak bertahan lama. Tiba-tiba ruang kerjanya diserbu segerombolan orang yang berteriak-teriak memerintahkan siapapun untuk diam di tempat.Â
Sial! Dia menyumpah dalam hati, tak ada waktu menyembunyikan amplopnya. Kini anggota dewan itu hanya bisa terduduk pasrah dan menutup mulut rapat-rapat sampai bertemu pengacaranya.Â
***
Wawan baru saja hendak menyalakan mesin mobil saat kaca jendela diketuk orang. Kemudian diketahui orang tersebut adalah penyidik KPK. Dia tertunduk lesu saat digiring pergi. Tak terasa air matanya mengalir terbayang wajah ayah dan adik-adiknya yang mengharapkan datangnya kiriman uang. Menyesali beberapa lembar uang di sakunya yang tak sempat terkirim ke kampung.
***