Mohon tunggu...
Iswasta Eka
Iswasta Eka Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan Dosen UMP

Certified Instructor Hypnotherapy,baru mencoba menulis 7 buah buku, 5 HAKI. Menulis di mass media sejak 1980 tersebar di Surat kabar dan majalah nasional maupun lokal, Tulisan kolom maupun cerpen dalam bahasa Indonesia dan Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Desa Lumbung Padi Tanpa Api

17 Desember 2015   03:50 Diperbarui: 17 Desember 2015   10:37 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - membakar jerami di sawah (Kompas.com)

Penghujung bulan Nopember yang lalu, tepatnya hari Senin tanggal 30 Nopember 2015 telah diselenggarakan Konferensi Perubahan IKLIM yang diselenggarakan oleh PBB di Paris. Lebih dari 40000 peserta hadir untuk mengikuti kegiatan tersebut, termasuk para pemimpin dunia baik dari negara maju maupun berkembang. Para negosiator hadir dalam pertemuan yang lebih dikenal dengan nama 21st Conference on Parties (COP 21) for United Nation Framework Convention for Climate Change. Tujuan COP 21 adalah untuk mendapatkan kesepakatan hukum yang bersifat mengikat dengan partisipasi banyak negara untuk mengendalikan pemanasan global.

Ada 4 hal penting yang disepakati dalam COP 21 setelah konferemsi iti berakhir, yaitu ;,1) Menyepakati batas kenaikam suhu rata-rata global di bawah dua derajat Celcius untuk pra industri dan berupaya menekannya hingga suhu 1,5 derajat Celcius. Ini dianggap signifikan mengurangi risiko dampak perubahan iklim. 2) Para pihak yang terlibat dalam menekan emisi gas rumah kaca dilakukan secepat mungkin dengan cara mengembangkan tenologi dan menyerap karbon. 3) Isi penting dalam poin kedua juga harus mendung upaya pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan. 4) Sebelum pertemuan COP selanjutnya pada 2025 secara kolektif bakal menetapkan pendanaan 100 miliar dolar AS pertahun untuk menekan perubahan iklim.

Negosiasi di Paris tidak hanya fokus pada komitmen untuk mengurangi gas rumah kaca, tetapi juga aspek keuangannya. Pertemuan sebelumnya telah menetapkan komitmen negara-negara maju untuk membantu negara berkembang mengantisipasi perubahan iklim melalui pembangunan berkelanjutan, sebesar US$ 100 miliar per tahun mulai tahun 2020. Dari mana sumber uang yang menjadi titik negosiasi utama? Apa peran yang akan dimainkan kalangan bisnis? Hal-hal itulah yang sebenarnya paling utama dalam pertemuan di Paris.

Terlepas dari itu semua banyak hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam skala mikro untuk mengendalikan pemanasan global yang sudah berjalan sejak tahun 1880 dan makin mengkhawatirkan sejak era 1990-an. Kekhawatiran itu makin memuncak ketika dari hasil studi ditemukan bahwa sebagian gletser di kutub utara mulai mencair, termasuk juga kawasan es abadi di puncak Himalaya, diikuti dengan meningkatnya permukaan laut di segala penjuru dunia.

Jika merunut ke belakang maka pemanasan global justru dimulai oleh negara-negara maju dengan revolusi industrinya, dan menghilangnya sebagian hutan mereka. Sayangnya saat negara-negara berkembang baru akan memanfaatkan sumber daya alamnya (dalam hal ini hutan) keburu pemanasan global makin parah sehingga negara maju menuntut agar negara-negara berkawasan hutan luas tetap mempertahankannya sebagai paru-paru dunia dengan konsekwensi mereka membayar biaya tersebut.

Sayang, Indonesia justru pada tahu 2015 menjadi penyumbang gas rumah kaca paling besar dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik yang disengaja maupun karena faktor alam. Sumbangan kabut asap dari wilayah Sumatra dan Kalimantan ini pada akhirnya akan meningkatkan suhu udara juga yang pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim, tetapi apakah hanya dari kebakaran hutan dan lahan yang menyumbang kabut asap ? Jawabannya tidak.

Kita lupa bahwa pembakaran yang menghasilkan kabut asap tidak hanya kebakaran hutan dan lahan. Ada faktor lain yang kurang diperhatikan,namun jika dalam jumlah banyak tentu saja juga akan menjadi penyumbang gas rumah kaca, yaitu pembakaran jerami di sawah pasca panen. Perilaku semacam ini sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, yang sebelumnya nyaris jarang dilakukan oleh petani.

Sebelum tahun 1990, rata-rata petani kita tidak membakar jerami di sawah, tetapi dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti membuat molase, menanam jamur merang dan sebagainya, sedangkan sebagian sisanya dipendam kembalj ke tanah. Namun setelah tahun 1990 entah dimulai dari siapa dan dari mana banyak petani yang membakar jerami di sawah selepas panen.

Cara yang ditempuh oleh petani ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembakaran lahan untuk membuka kawasan tanam baru, yaitu mempercepat proses dan menekan beaya. Dengan cara membakar sisa jerami di sawah petani tidak lagi mengeluarkan tenaga untuk mengangkut sisa panenan, entah untuk dibuang atau yang lain, sekaligus tidak perlu menunggu waktu.

Cara tersebut memang efisien, tetapi dampak yang ditimbulkan tidak terpikirkan. Dengan membakar jerami di lahan sawah sesungguhnya akan mematikan mikroorganisme tanah yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk pengolahan lahan, sehingga mengurangi kesuburan tanah. Dampak yang lain adalah dengan dihasilkannya asap yang tentunya akan ikut menyumbang gas rumah kaca.

Bisa dibayangkan jika pembakaran di sawah dilakukan secara serentak dalam jumlah jutaan hektar sawah, mungkin efeknya tidak jauh berbeda dengan pembakaran lahan dan hutan seperti pada saat musim kemarau yang lalu.

Kita mengetahui itu semua, tetapi sampai saat ini masih membiarkan begitu saja. Sudah selayaknya manajemen desa tanpa api tidak hanya diterapkan untuk kawasan sekitar hutan saja, tetapi juga areal persawahan. Konsep desa tanpa api bukan seperti kegiatan nyepi yang tidak boleh ada api, tetapi hanya sekedar menghindari penggunaan api untuk pembukaan lahan. Konsep desa tanpa api semestinya juga diterapkan di desa sekitar areal persawahan sehingga dapat menekan peningkatan gas rumah kaca, yang dampaknya pada pemanasan global.

Jika konsep desa tanpa api bisa diterapkan dalam beberapa aspek kegiatan yang selama ini dilakukan maka diharapkan perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global setidaknya dapat dikendalikan. Tanpa upaya bersama antara pemerintah dengan rakyatnya maka usaha menekan emisi gas rumah kaca akan sia-sia, dan kita tinggal menunggu waktu hilangnya puluhan, bahkan mungkin ratusan pulau Indonesia akibat naiknya permukaan air laut.
Semoga bermanfaat.

Dosen PGSD UM Purwokerto
Mantan Tim MBS Dirjen Dikti (2008-2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun