Selanjutnya, cara yang ampuh untuk mengetahui berita hoax adalah dengan memeriksa fakta yang ada sebelum percaya akan suatu berita. Biasanya jika suatu berita tidak disertai dengan sumber yang jelas, maka sudah dipastikan bahwa berita tersebut adalah hoax. Dan biasakan kita memeriksa berita yang kita baca, apakah berita tersebut adalah fakta ataupun hanya sebuah opini semata.
Karena definisi serta dampak negatif dan ciri dari berita hoax sudah dipaparkan oleh penulis, maka penulis akan menjelaskan keresahan sesungguhnya. Keresahan ini timbul karena di era milenial ini, sangat mudah sekali menyebarnya hoax dikalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya sesat pikir atau fallacy terhadap suatu permasalahan sosial yang ada dan menimbulkan salah kaprah atau semacamnya.
Padahal di zaman sekarang, globalisasi sudah terjadi. Internet dan media sosial khususnya merubah jarak sesungguhnya menjadi dekat karena tidak ada batasan informasi yang didapatkan oleh para penggunanya. Sehingga menyebabkan konflik di dunia digital dan memengaruhi kondisi sosial di dunia nyata.
Mengapa ini bisa terjadi? Alasan pertama menurut penulis adalah kurangnya etika dalam menggunakan sosial media maupun sejenisnya. Hal ini diperkuat dengan bebasnya para netizen mengungkapkan pendapat mereka di dalam media sosial manapun yang mereka mau. Dengan keadaan seperti itu, wajar saja akhir – akhir ini media sosial yang biasa digunakan untuk penyebaran hoax seperti Twitter, Instagram, dan Whatsapp di timeline-nyaselalu muncul berita – berita sensasional yang tidak bersumber sama sekali.
Contoh saja di Instagram,dibagian menu explore,bisa kita dapati berbagai macam berita hoax yang disertai foto yang sebetulnya tidak ada hubungan dan kaitannya sama sekali. Akan tetapi, untuk para pengguna aplikasi tersebut yang tergolong baru – baru ini menggunakannya biasanya begitu mudahnya percaya dan terpengaruh dengan hoax tersebut. Saya sempat berpikir bahwa mengapa begitu banyaknya masyarakat yang masih banyak mempercayai hal tersebut, padahal seharusnya mereka menelaah terlebih dahulu informasi apa yang mereka dapatkan.
Lantas dengan wawasan terkini mereka yang terkesan “apa adanya”, mereka dengan cepatnya kembali menyebarkan ulang berita yang sama. Kendati demikian, tidak semua pengguna sosial media yang seperti itu. Ada saja mereka yang menggunakan sosial media dengan bijak dan tidak terpengaruh oleh hoax terkini dikarenakan banyaknya pengetahuan dan wawasan tentang hoax tersebut, sehingga para netizen yang bijak tersebut langsung membuat “berita tandingan“ berupa klarifikasi terhadap suatu hoax yang sedang dibahas atau panas – panasnya. Setelah itu timbulah semacam psywar di media sosial tentang siapa yang paling benar.
Sebagai contoh, masalah pilkada DKI Jakarta tahun ini merupakan pilkada yang begitu “berisik” bahkan pasca selesai pilkada DKI Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan nomor urut 3 Anies baswedan dan Sandiaga Uno pun masih bertebaran hoax yang menjelekkan pasangan nomor urut 3 tersebut. Tidak hanya itu, pasangan dengan nomor urut 2 yaitu basuki tjahja purnama dan Djarot pun tidak luput sebagai objek hoax sehingga mencemarkan nama mereka. Perang hoax tersebut diduga adalah perang antar pendukung kedua pasangan calon tersebut. Kendati demikian, penyebaran hoax yang terjadi di salah satu media sosial yaitu Instagram tidak melulu tentang hoax antar kedua paslon tersebut.
Saya sebagai penulis berpendapat bahwa dengan menyebarnya berita hoax di media sosial manapun jika penggunanya atau yang mendapat informasinya tidak membaca berita tersebut secara bijak, maka bisa dipastikan dia akan selamanya terjebak arus berita hoax. Tidak hanya itu, mereka yang tidak bijak dalam membaca beritapun akan ikut membuat hoax tandingan sehingga antara kubu dengan yang lainnya tidak akan pernah habis untuk saling serang di media sosial. Sudah bisa dipastikan, orang atau kelompok tersebut sudah memiliki perspektif pemikiran yang salah dan hanya bisa saling menyalahkan tanpa menyeimbangkan pemikiran mereka.
Berdasarkan permasalahan di atas yang sudah kita ketahui, seharusnya pemerintah bisa mencegah para penyebar hoax dengan memberikan sanksi lagi dari UU yang sudah ada atau menyempurnakan kembali UU Pasal 27 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 43 ayat (5), Pasal 26 dan Pasal 40. Namun menurut penulis, para pembuat hoax – hoax di media sosial tetap tidak kunjung ada habis – habisnya. Bahkan jumlah user yang menyebarkan hoax semakin banyak bahkan berkembang.
Akhir kata saya sebagai penulis mengingatkan para pembaca untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran. Mengingat zaman sekarang sudah sulit sekali membedakan mana yang benar dan mana yang sesungguhnya salah. Terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI