Beberapa tahun setelah menyelesaikan kuliahnya, seorang teman bersyukur karena bisa “lulus” dalam tes seleksi penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Mohon maaf, kata lulus itu harus kuberi tanda petik di awal dan di akhirnya karena ia mengandung suatu anomali yang tanpa harus kujelaskanpun, aku yakin Anda pasti dapat memahaminya.
“Apa boleh buat, sekarang jamannya memang begitu. Kalau gak gitu kita gak bisa lulus”. Katanya.
Ketika kutanya “berapa?”, dengan tenang, sakinah-muthma’innah ia menjawab: “Alhamdulillah, cuma 70 juta”.
Nuansa jawabannya itu seperti seorang jebolan pesantren yang dalam perjalanan hidupnya sempat terjerembap ke dalam lembah hitam minuman keras dan perjudian. Setelah insaf, ia bercerita bahwa sekelam apapun masa lalunya itu, nilai-nilai ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren tak pernah ditinggalkannya sama sekali.
“Setidaknya dulu itu setiap kali menenggak tuak, aku tak pernah lupa baca bismillah”. Selorohnya.
Mereka tidak merasa melakukan apapun yang berkaitan dengan kebobrokan moral. Pilihan hidup mereka selalu sederhana: Main judi dengan cara yang jujur itu lebih mulia daripada judi dengan cara yang licik. Sehingga kalau harus terpaksa menyogok untuk bisa jadi PNS, mereka akan sujud syukur kalau angkanya itu kecil. Dan kalau harus bayar agak besar, mereka juga punya kesiapan mental untuk selalu bersabar, tentu saja sambil berkata “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.
Seniorku itu sudah cukup lama memimpikan dirinya memakai seragam PNS. Sekarang, saat impiannya itu sudah terwujud ia merasa seperti ulam yang berhasil meraih sang pucuk. Dan dalam rangka tahadduts binni’mah-nya itu, ia menyantuni puluhan anak yatim dan meminta do’a keberkahan dari mereka.
“Jadi PNS itu enak”. Katanya padaku dengan nada mengiming-imingi. “Punya gaji tetap, tunjangan ini itu, naik golongan, prestise, uang pensiun… pokoknya paten bah!”. Dia terus nyerocos, mengumbar eksotisme status barunya sebagai abdi negara. Barangkali saking perlentenya pekerjaan itu, dia sampai sesumbar kalau di akhirat nanti ada kesempatan untuk jadi PNS lagi, ia juga akan mengikuti seleksinya. Sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan itu, katanya dari sekarang dia mulai rajin berdoa dalam setiap tahajjudnya: “Robbanaa aatinaa fid dunya PNS wa fil akhirati PNS”. Hahahah… sableng!
Aku meledek “Kok gak dilanjutin wa qinaa azabannar-nya, bang?”, dia menjawab dengan kelakar sambil mengelus-elus janggut sunnahnya: “Dengan pekerjaan dan sistem yang kujalani sekarang, aku pesimis bisa selamat dari api neraka”. Hahahah… guendheng!
Bukan Karena Ingin
Barangkali sudah saatnya bagi seniorku itu, dan juga ribuan manusia lain yang memiliki tipe, model dan gaya hidup yang sama, untuk berfikir agak sedikit jernih. Yang kumaksud dengan “agak sedikit jernih” itu adalah standar logis yang sebaiknya dijadikan pedoman dalam memikirkan, mendambakan dan mencita-citakan sesuatu. Ini kupelajari dari “catatan kehidupan” guru kehidupanku, Cak Nun. Singkatnya begini: aku yakin seniorku itu maunya bukan menjadi PNS dalam kehidupan di dunia yang sangat singkat ini. Kalau memungkinkan sih, dia maunya jadi walikota, atau syukur bisa jadi gubernur. Aku yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi marbot masjid, penjaga toko buku, menjadi tukang sate atau menjadi guru honorer dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi imam Masjidil Haram, pengusaha besar, menteri pendidikan atau syukur-syukur bisa jadi presiden.
Jadi, kalau mau jujur, apapun yang sedang kita jalani saat ini sesungguhnya kita lakukan “bukan karena ingin”. Karena keinginan kita yang sebenarnya selalu berada satu tingkat atau beberapa tingkat di atas kenyataan yang ada itu. Dan pucak dari semua keinginan itu biasanya selalu sama dan tunggal: ingin menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif: ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada ummat dan agama. Ingin mencerdaskan anak bangsa. Dan mungkin benar pada awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu berjumpa dengan gerbang-gerbang kekayaan: mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil ditanya cita-citanya: ingin menjadi pilot, artis, polisi, presiden? Tapi ujung-ujungnya pasti sama saja, yaitu ingin menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi pilot, daripada sebaliknya.
Menikmati Hidup
Akan tetapi ‘siapa menjadi apa’ itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Allah, namun juga oleh tatanan sosial, oleh sistem dan struktur negara, oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang punya wewenang atau tidak. Aku pribadi, karena sudah sejak lama tahu bahwa takdir Allah banyak “diganjal” oleh kerusakan moral dan kolusi manusia, maka daripada seperti serigala yang berulang kali gagal menggapai buah anggur dan pada klimaks kegagalan itu ia mengutuk: “puih, dasar anggur masam!”, aku lebih memilih untuk menikmati hidup ini dengan senikmat-nikmatnya.
Kalau makan dengan tempe, maka aku akan berusaha untuk menjadi pribadi dengan sifat, sikap dan perilaku yang membuatku dapat menghayati, menikmati dan mensyukuri setiap resapan rasa yang mengalir di lidahku sehingga bagiku makan yang paling lezat dan nikmat itu ya dengan tempe. Itulah yang kumaksud dengan menikmati hidup senikmat-nikmatnya. Urusan besok atau lusa aku makan dengan sop buntut itu urusan lain. Yang gawat adalah kalau orang makan dengan tempe tapi dalam waktu yang bersamaan ia melamunkan dan mengekspektasikan sop buntut. Sudah mah tempe dirasanya gak enak, sop buntutnya pun tak ada. Apa bukan jahil murokkab itu namanya?
* * *
Tapi aku serius soal menjadi PNS di akhirat itu. Maksudku, PNS di dunia ini bisa tetap menjadi PNS di akhirat nanti. Ini serius, bukan main-main. Bahkan kabarnya formasi yang dibuka di sana jauh lebih banyak daripada yang dibuka di sini. Kuotanya juga lebih besar. Selain itu, syarat dan ketentuannya pun lebih mudah. Tak perlu ijazah dan gelar akademik apapun. Sehingga semua orang berpeluang besar jadi PNS tanpa harus menyogok, menjilat, main curang dan perilaku-perilaku menjijikkan lainnya. Sekedar informasi bagi Anda yang berminat, syarat untuk jadi PNS di akhirat hanya tiga: tak usah shalat, tak perlu memberi makan orang miskin, dan jangan coba-coba mempercayai adanya hari pembalasan. Cuma itu. Karena PNS di akhirat bukan “Pegawai Negeri Sipil” tetapi “Penghuni Neraka Saqor”.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H