Mohon tunggu...
Didin Rohaedin
Didin Rohaedin Mohon Tunggu... Swasta -

Pengangguran Papan Atas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fid Dunya PNS Wa Fil Akhirati PNS

8 Maret 2016   14:19 Diperbarui: 8 Maret 2016   14:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun setelah menyelesaikan kuliahnya, seorang teman bersyukur karena bisa “lulus” dalam tes seleksi penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Mohon maaf, kata lulus itu harus kuberi tanda petik di awal dan di akhirnya karena ia mengandung suatu anomali yang tanpa harus kujelaskanpun, aku yakin Anda pasti dapat memahaminya. 

“Apa boleh buat, sekarang jamannya memang begitu. Kalau gak gitu kita gak bisa lulus”. Katanya. 

Ketika kutanya “berapa?”, dengan tenang, sakinah-muthma’innah ia menjawab: “Alhamdulillah, cuma 70 juta”.
Nuansa jawabannya itu seperti seorang jebolan pesantren yang dalam perjalanan hidupnya sempat terjerembap ke dalam lembah hitam minuman keras dan perjudian. Setelah insaf, ia bercerita bahwa sekelam apapun masa lalunya itu, nilai-nilai ajaran Islam yang didapatkan dari pesantren tak pernah ditinggalkannya sama sekali. 

“Setidaknya dulu itu setiap kali menenggak tuak, aku tak pernah lupa baca bismillah”. Selorohnya. 

Mereka tidak merasa melakukan apapun yang berkaitan dengan kebobrokan moral. Pilihan hidup mereka selalu sederhana: Main judi dengan cara yang jujur itu lebih mulia daripada judi dengan cara yang licik. Sehingga kalau harus terpaksa menyogok untuk bisa jadi PNS, mereka akan sujud syukur kalau angkanya itu kecil. Dan kalau harus bayar agak besar, mereka juga punya kesiapan mental untuk selalu bersabar, tentu saja sambil berkata “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. 

Seniorku itu sudah cukup lama memimpikan dirinya memakai seragam PNS. Sekarang, saat impiannya itu sudah terwujud ia merasa seperti ulam yang berhasil meraih sang pucuk. Dan dalam rangka tahadduts binni’mah-nya itu, ia menyantuni puluhan anak yatim dan meminta do’a keberkahan dari mereka. 

“Jadi PNS itu enak”. Katanya padaku dengan nada mengiming-imingi. “Punya gaji tetap, tunjangan ini itu, naik golongan, prestise, uang pensiun… pokoknya paten bah!”. Dia terus nyerocos, mengumbar eksotisme status barunya sebagai abdi negara. Barangkali saking perlentenya pekerjaan itu, dia sampai sesumbar kalau di akhirat nanti ada kesempatan untuk jadi PNS lagi, ia juga akan mengikuti seleksinya. Sehingga untuk mengantisipasi kemungkinan itu, katanya dari sekarang dia mulai rajin berdoa dalam setiap tahajjudnya: “Robbanaa aatinaa fid dunya PNS wa fil akhirati PNS”. Hahahah… sableng!

Aku meledek “Kok gak dilanjutin wa qinaa azabannar-nya, bang?”, dia menjawab dengan kelakar sambil mengelus-elus janggut sunnahnya: “Dengan pekerjaan dan sistem yang kujalani sekarang, aku pesimis bisa selamat dari api neraka”. Hahahah… guendheng!


Bukan Karena Ingin

Barangkali sudah saatnya bagi seniorku itu, dan juga ribuan manusia lain yang memiliki tipe, model dan gaya hidup yang sama, untuk berfikir agak sedikit jernih. Yang kumaksud dengan “agak sedikit jernih” itu adalah standar logis yang sebaiknya dijadikan pedoman dalam memikirkan, mendambakan dan mencita-citakan sesuatu. Ini kupelajari dari “catatan kehidupan” guru kehidupanku, Cak Nun. Singkatnya begini: aku yakin seniorku itu maunya bukan menjadi PNS dalam kehidupan di dunia yang sangat singkat ini. Kalau memungkinkan sih, dia maunya jadi walikota, atau syukur bisa jadi gubernur. Aku yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi marbot masjid, penjaga toko buku, menjadi tukang sate atau menjadi guru honorer dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi imam Masjidil Haram, pengusaha besar, menteri pendidikan atau syukur-syukur bisa jadi presiden.

Jadi, kalau mau jujur, apapun yang sedang kita jalani saat ini sesungguhnya kita lakukan “bukan karena ingin”. Karena keinginan kita yang sebenarnya selalu berada satu tingkat atau beberapa tingkat di atas kenyataan yang ada itu. Dan pucak dari semua keinginan itu biasanya selalu sama dan tunggal: ingin menjadi kaya. Memang ada klise-klise aplikatif: ingin mengabdi kepada bangsa dan negara. Ingin berbakti kepada ummat dan agama. Ingin mencerdaskan anak bangsa. Dan mungkin benar pada awalnya memang bercita-cita seperti itu, tetapi begitu berjumpa dengan gerbang-gerbang kekayaan: mulai penuhlah kepala oleh cita-cita tunggal itu. Kalau anak-anak kecil ditanya cita-citanya: ingin menjadi pilot, artis, polisi, presiden? Tapi ujung-ujungnya pasti sama saja, yaitu ingin menjadi kaya. Milih jadi orang kaya meskipun tidak jadi pilot, daripada sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun