Kegiatan pemanenan rumput laut oleh masyarakat, 2016, Nusa Lembongan (foto : Beta Masran)
Jika kita mencintai sesuatu, biarkan sesuatu itu pergi dan jika sesuatu itu kembali, barulah menjadi milik kita sepenuhnya. Pola kata ini menjadi pikiran berat teriang selalu dalamdipikiran ku, tentang perubahan secara yang sangat singkat, dapat dirasakan oleh mata telanjang. Rumput laut yang merubah hidup kita dimasa lalu. telah berkurang, bahkan akan hilang ditelan maraknya pariwisata yang menjanjikan. Sejarah yang akan selalu terukir dibenak dan di hati, setiap masyarakat lembongan. Dimana, rumput laut yang menjadi symbol dan primadona sekarang sudah mulai tiada.
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia, terdapat Pulau Pulau kecil di provinsi tersebut, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan Merupakan gugusan Pulau Nusa Penida. Desa di dua pulau tersebut, masih sangat asri dan indah. sebelum tahun 2005 an yang desa tersebut mengambarkan suasana kehidupan masyarakat bali jaman dahulu yang belum tersentuh dengan modernisasi. Sosial budaya gotong royong yang menjadi semboyan masih sangat terasa dibawah Tahun 1976. Masyarakat bersama sama membaur membangun pulau lembongan yang indah itu, dengan keindahan estetika yang menawan, memberikan pengertian bahwa tuhan menitipkan alam indah untuk dijaga bersama sama. Masyarakat di saat itu lebih memiliki kekuatan persaudaraan yang baik dari sekarang, yang menjadikan kedekatan emosional penduduk bersama sama ikut berpartisipasi dan berperan mengembangkan potensi alam yang ada.
Sejak zaman dahulu konon kehidupan masyarakat Bali, khususnya Desa Lembongan akrap dengan pertanian, luasnya lahan dan tingginya produktifitas tanah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bercocok tanam, tanaman kelapa, kacang kacangan, umbi umbia menjadi komuniti utama penyusun struktur pertanian di Pulau Lembongan dan Pulau Ceningan sejak dulunya. Masyarakat belum mengenal pembudidayaan rumput laut, rumput laut yang tersebar di sekitar kawasan perairan, hanya tumbuh berserakan di dalam perairan tersebut. Menurut Ujiana “Masyarakat Pulau Lembongan yang sangat bergantung pada pertanian jenis tanaman Palawija maupun tumbuh-tumbuhan musiman dan holikultura",
Dengan berjalannya waktu rumput laut menjadi komuditi besar, yang ada di pulau kecil di Provinsi Bali tersebut. Rumput laut mulai berkembang di Lembongan kurang lebih Tahun 1976. diawali oleh kedatangan seorang peneliti yang bernama “ Pak Bambang” yang mencoba menanami jenis Spenosium dan Cattonie, disinilah menjadi awal perubahan pola kehidupan dan ekonomi masyarakat Nusa Lembongan (Ujianana,2016). Pak Bambang membawa rumput laut jenis cattonie dan spenosum untuk dikembangakan di Nusa Lembongan. Momen ini menjadikan perubahan persepsi masyarakat, beralih menjadi petani rumput laut”. Seluruh masyarakat petani berbondong ikut serta dalam pengembangan rumput laut, mulai dari mencoba menanam sampai dengan fokus melakukan pengembangan budidaya rumput laut itu sendiri. Pada saat itu masyarakat sangat mansyur dengan perkembangan rumput laut dan menjadi awal perubahan dari pola pikir, pola kehidupan, budaya dan ekonomi masyarakat di Pulau Lembongan dan Ceningan.
Perubahan ekonomi yang sangat signifikan berubah. Menurut Ujiana, banyak Masyarakat Lembongan yang menjadi kaya raya, dari hasil budidaya rumput laut. Mereka mulai Bukan hanya membeli rumah dan tanah di Kota Bali, tetapi juga banyak anak dari mereka dapat bersekolah, hingga ke bangku perkuliahan. Perubahan bentuk bangunan rumah menjadi salah satu bukti nyata perkembangan rumput laut di zaman itu. Harga rumput laut pada saat itu, berkisar pada range 1000 rupiah. Tentu pada saat itu termasuk harga tertinggi pada zamannya. Rumput laut yang budidayakan di lembongan mengalami kenaikan pada durasi Tahun 1990 sampai dengan 2005. Jenis E Kattonie dan E. Spenosum, manjadikan rumput laut tumbuh subur di Perairan Kecamatan Nusa Penida . Khusunya, Nusa Lembongan dan Ceningan. Bukan hanya masyarakat yang bekerja sebagai petani rumput laut, tetapi juga masyarakat yang memiliki pekerjaan seperti guru, karyawan hotel, dan pekerjaan lain. Ikut serta dalam pengembangan rumput laut.
Sejarah tentang awal mulanya pembudidaya tersebut, menjadi cerita yang selalu diketahui secara turun temurun. Setiap kaum antara umur 35-70 tahun masih menganggap pak Bambang sebagai pahlawan di Lembongan yang memberi pengaruh besar dalam sejarah perkembangan rumput laut. Walaupun hingga saat ini, masyarakat tidak pernah benar tau siapa dan dimana pak Bambang tersebut. Pengaruh yang telah diberikannya bernafaskan ingatan, oleh setiap insan yang ada di Nusa Lembongan dan Ceningan. Tidak akan pernah terlupakan, walaupun kehidupan memaksa perubahan.
Perubahan yang tidak dapat diindahkan, Dalam perkembangannya rumput laut budidaya yang dilakukan oleh petani, mengalami pasang surut. Mulai disebabkan diagram pertumbuhan, pasar dan harga rumput laut yang selalu menurun, terutama harga rumput laut di Bali pada umumnya. Hal itu berbanding lurus, dengan perubahan persepsi lingkungan masyarakat rumput laut yang ada di Desa Lembongan Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Pola pikir masyarakat Lembongan, sekarang mengarah kepariwisata, meninggalkan potensi sumber daya alam, yang dahulunya menjadi primadona khususnya rumput laut. Tidak ada lagi rumput laut yang diagung agungkan, tidak ada lagi masyarakat yang menjadi owner di bisnisnya sendiri.
Hasil Penen Rumput Laut, 2016, Nusa Ceningan (foto : Beta Masran)
Namun mulai pada tahun 2006, stabilitas komunitas rumput laut mengalami penurunan. Terjadi penurunan harga, tidak stabil. Berdasarkan data, petani rumput laut dengan jumlah orang berkisar 98 %. Mulai tahun 2010 pertumbuhan rumput laut di Desa Lembongan, mulai menurun sangat drastis. Diatas Tahun 2010 hingga sampai saat ini pembudidaya rumput laut menjadi 5 % dari jumlah penduduk Pulau Lembongan. Hal itu dipengaruhi oleh harga, laju pertumbuhan, serta pangsa pasar rumput laut yang tidak berpihak kepada petani rumput laut. Petani rumput laut semakin hari menurun, rendahnya animo petani untuk turun melakukan budidaya (SPN, 2016). Buruknya kualitas dari hasil rumput laut yang dihasilkan menjadi salah satu faktor kuat mulai tergerusnya rumput laut tersebut, serta perkembangan hama dan pencemaran yang meningkat dari tinggi pariwisata di Nusa Lembongan.
Masyarakat mulai beralih pekerjaan keberbagai bidang, yang memaksa mereka untuk survive. Untuk terus mempertahankan budiya rumput laut, yang takan mungkin bisa diteruskan, membeli kebutuhan bibit saja mereka sudah mulai tidak mampu. Tentunya, ini sangat menentukan produktifitas petani rumput laut, serta menentukan kemunduran budidaya rumput laut itu sendiri. Harga bibit dengan produksi yang berbanding terbalik, mulai dari harga per/ikat Rp 7.000,- sampai dengan Rp 15.000/tali. Dari bibit yang ditanam, hanya menghasilkan jumlah diluar expectasi. Diperburuk dengan penyakit serta harga jual produksi tinggi, yang membuat keadaan pembudidaya rumput laut semakin tersudut.
Gudang Penyimpanan Rumput Laut, 2016,
Nusa Lembongan (foto :Ami Ratih)
Berkah alam lainlah yang membantu masyarakat Pulau Lembongan, menemukan jati diri mereka kembali yaitu coastal of ecotourism. Peningkatan wisata ke Indonesia destinasi ke Bali menjadi tujuan utama. Selama 2015, Bandara Ngurah Rai melayani 8,6 juta penumpang domestik dan 8,5 juta penumpang internasional, total mencapai 17,1 juta pengunjung dengan rata-rata per hari sebanyak 46.883 orang. Destinasi wisata laut menjadi daya tarik utama beberapa dekade terakhir. Pulau kecil Bali menjadi tujuan utama para wisatawan, salah satunya Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung yang terdiri dari Nusa Penida itu sendiri, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan (Data Pemerintahan, 2016).
Keindahan Alam Desa Lembongan, 2016, Nusa Lembongan (Foto : Beta Masran)
Khusus Nusa Lembongan, berdasarkan kurva wisata telah menjadi destinasi terbaik dalam 10 (sepuluh) Tahun terakhir, beberapa aspek alam seperti wisata alam laut keindahan alam, terumbu karang, mangrove, lamun dan rumput laut memenuhi kebutuhan wisatawan lokal maupun mancanegara. Serta, keidahan culture tentunya. Kawasan Nusa Lembongan terdapat 151 properti, 22 cruise boat dengan kapasitas 100-200 orang yang terdaftar di nusa lembongan (SPN, 2016). Rata rata wisatawan local maupun internasional berkisar 2500/hari stay di Nusa Lembongan, dibedakan antara wisatawan non cruise stay dan wisatawan cruise (pelancong).
Perubahan tentu terjadi, kearifan local yang selalu menjadi primadona, beralih ke suatu konsep baru berbasis “menjual indahnya alam’. Dalam kurun waktu yang singkat kegiatan pembudidaya rumput laut yang dahulunya berskala besar, menjadi butiran kecil yang menghiasi sebuah kemolekan alam, dan menjadi daya Tarik utama ribuan manusia berkunjung, melihat, serta merasakan surga alam tuhan yang ada dimuka bumi ini. Tidak ada lagi gadis gadis hitam, berpakaian sederhana membawa keranjang besar. Untuk menampung rumput dari pantai, Hanya tinggal pesona para turis. Hal yang menjadi berkah tersendiri yang harus dijaga oleh Masyarakat Lembongan. Konsep telah berubah, pola pikir kita telah berubah, cara kita telah berubah. Tapi, apakah perlu kita meninggalkan, hingga sesuatu tersebut akan kita lupakan. Perlukah kita meninggalkan sesuatu yang telah membesarkan jati diri kita seperti sekarang ini, sudahkan kita selalu mendampingi hal yang baru dengan tetap menampung sejarah ini. Sejarah dimana “lembongan sebagai pulau penghasil rumput laut di Bali”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H