Mohon tunggu...
egoegi
egoegi Mohon Tunggu... digital content freelance -

a hybrid digital people - loves #reading #writing #barca

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

The Theory of 'Tukang Warteg'

6 Juli 2016   05:37 Diperbarui: 6 Juli 2016   08:53 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal sederhana dari Tolib dan anak buahnya. Semua demi mereka.

Rangakaian teori ini berawal dari sini.


Tuol Kork, siang hari.

Ruangan yang berada di lantai dua #street. 608, seperti biasanya di jam-jam sibuk pasca makan siang, hening dengan keasyikan mereka di depan layar monitor.

Kalaupun ada desibel berbunyi, mayoritas berasal dari bunyinya tombol keyboard dan percakapan kecil kami. 

Ditambah bunyi dering telepon berasal dari lantai satu.

“Gimana disana? puasa gak?,” muncul satu baris pesan dalam Whatsapp saya. Dengan nomor yang tidak dikenal.

Siapa ini, pikir saya dalam hati.

Saya langsung ke bagian kiri atas profil nomor itu, kurang dari satu detik, saya hapal ini siapa.

Nah, ini si om ternyata.

Om Maman, adik kandung dari almarhum papa. Dalam foto profilnya, terlihat ia berpose formal dengan batik bersama temannya.

Saya tahu, harus merespon pertanyaanya dengan cepat.

“Oh om Maman, disini gini dah panas! Puasa? Insya Allah,” respon hangat disertai sedikit bernada religius tapi sebenarnya ambigu.

“Lebaran pulang ya,” anjurnya singkat. Cukup tiga kalimat.

Kalimat yang jarang saya dengar keluar darinya. Asumsi saya, ia merasa berperan untuk mengingatkan saya yang jauh disini.

Setelah kepergian kakek di tahun 2007, yang kemudian disusul papa lima tahun berikutnya. 

Ayah dari dua anak perempuan ini otomatis menjadi perwakilan keluarga besar H.Muchtar.

“Nah itu dia om…” saya menjawab sekilas. Sambil pelan-pelan mikir lanjutannya.

Nah itu dia gimana? Nah itu dia bakal pulang, atau nah itu dia….enggak!

Satu diantara tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun, 

lebaran adalah motif terkuat untuk bisa berkumpul bareng keluarga besar dari manapun.

Saya yakin, tidak ada satupun manusia yang ingin absen saat lebaran. Di tengah-tengah keluarga mereka.

Sukacita, tertawa dan bahagia.

“Kayanya, egi gak dapat izin om. Masih banyak yang harus dikerjain…” perjelas via teks dalam Whatsapp.

Belum selesai mengetik pesan berikutnya, ia duluan membalas.

Dengan gaya ngocol-nya,

“Masa kalah ama tukang warteg,”

“Tolib aje warteg depan rumah tomang, anak buahnye mudik ke kampung,”

Yang reflek membuat tawa saya lepas. Mengagetkan Darith, sebelah kanan meja.

”Ngehek! disamain ama tukang warteg! ada aje istilahnye.” dalam hati saya gerutu.

Yang sudah no hard-feeling dengan gayanya, sudah kebal.

Flashback! ingat si Tolib, dengan warna keruh dan kusamnya lap warteg, yang tiap malam ia gunakan untuk bersihkan kaca etalase.

Tolib, warteg yang sejak awal 80-an sudah terletak di seberang rumah saya.

“Lah haha kagalah! beda om, anak buahnye Tolib balik tinggal ngesot ke Tegal. Mudiknya juga pake rupiah, bukan Dollar.” 

tanpa mau kalah saya menjawab.

“Yah, sama aje. Intinye mudik ye kan, pulang kampung. Daripada enggak. Jauh-jauh kerja masa gak pulang.” 

argumennya bernada konservatif.

“Di mari kan beda om, liburnya juga. Lebaran orang Khmer kemarin April udah. Natalan ada, lebaran gak ada.”  saya sekali lagi mengklarifikasi.

'Kingdom of Wonder' mayoritas menganut Buddha Theravada, mereka punya Khmer New Year

April kemarin, jatah sepuluh hari dihadiahi oleh kantor saya.

Selainnya, mereka punya tanggal merah paketan berdurasi tiga hari:

King’s Birthday di bulan Mei, Pcum Ben Day di akhir September dan Water Festival Day di bulan kesebelas, November.

“Salam kangen yah buat nenek, ama yang lain juga om.

Maaf, pertama kalinya absen.”

Saya membalas dengan berat hati. Sesudahnya, tidak ada lagi balasan darinya.

Maaf.

Hari ini.

Saya tidak akan ikut bareng kumpul di rumah nenek, yang hanya lima menit naik motor dari rumah saya, yang juga di kawasan Tomang. 

Tanpa juga bertemu mama, orangtua satu-satunya yang saya miliki.

Berarti, saya absen seremonial berpose dalam edisi ‘tangga’ dengan mereka, the cengceremen.

Adik-adik sepupu yang sudah tidak lagi lucu dan imut, seperti beberapa tahun lalu.

lebaran-577c338ce422bddc0b1592c0.jpg
lebaran-577c338ce422bddc0b1592c0.jpg
Kehilangan momen ketupat rendang plus kuah opor, guyuran kuah kikil di atas nasi putih lengkap dengan kerupuk emping, 

yang pasti ada sebagai pelengkap. Semuanya all you can eat.

Pertama kalinya. saya tidak bisa (lagi) bertemu kakek Ayib, lelaki tua yang sejak lima tahun lalu tinggal bersama di rumah saya.

Sepindah ia kerumah anaknya, itulah terakhir kali saya melihat kakek yang semakin memutih rambutnya.

Sampai sekarang, ada satu hal yang membuat saya kepikiran, tidak berpamitan langsung bertemu dengannya.

Oh ya, kalau ada saudara saya yang kebetulan membaca ini, mohon sampaikan rasa kangen dan 

permintaan maaf saya kepada papa dan kakek yah! mereka berdua di satu komplek pemakaman Karet.

“Egi, i thought we’ve several projects that we need to you as primary role and monitor. 

Let’s move your plan to next year yeah? its fine right?”

Pernyataan dua minggu lalu yang dibumbui dengan nada pertanyaan di akhirannya, dari Lundy. Owner asli seorang Khmer.

Dengan mengangguk, saya mengatakan iya, it's ok. Itu adalah jawaban dari: apakah pulang lebaran atau tidak?

Tidak.

Saya masih penasaran untuk bisa pulang. 

Tiga hari setelahnya, kesempatan kedua saya coba. Kali ini melalui Skype, basa-basi panjang lebar dari awal sampai akhir. 

Hasilnya tetap berakhir sama: null (noun: a zero). 

You are not coming home Egol. Period.

Dan.

Setelah ia menghilang begitu saja, tanpa balasan terakhir dari percakapan kemarin. 

Datang lagi si Om, kali ini tidak dengan topik yang sama. 

lebaran-vietnam-577c2e4b6c7a618c0c82333a.png
lebaran-vietnam-577c2e4b6c7a618c0c82333a.png

Sepeda Vietnam.

Padahal, sudah saya alihkan dengan topik tentang foto saat kita di Bali, 2012.

Tapi gagal, ia keukeuh penasaran dengan sepeda Vietnam, yang harusnya saya cari di Vietnam.

Sementara saya di Phnom Penh, Kamboja bukan?

lebaran-vietnam-2-577c2ee941afbde013f05b1c.png
lebaran-vietnam-2-577c2ee941afbde013f05b1c.png


“Sepeda gampang ban nya bisa copot packing deh bereees.” dengan mudah ia bilang.

Mungkin sepeda yang ia maksud, seperti dulu si Arwen, sepeda lipat yang saya beli di area ruko Roxy Mas. 

Makanya dikira gampang.

lebaran-vietnam3-577c2f2ee422bde00b1592c1.png
lebaran-vietnam3-577c2f2ee422bde00b1592c1.png
Asyik kan celetukannya, “Iyalah siapa bilang kardus.” 

Gdubrak!! kardus?! haha!

Berkali-kali saya sering bilang padahal, "Vietnam itu Ho Chi Minh, sementara saya Phnom Penh, Kamboja."

Mungkin, seringnya saya menggambarkan bahwa jarak perjalanan Phnom Penh - Ho Chi Minh hanya sekitar empat jam-an via bus. 

Membuat sedikit rancu.

Bahasan terakhir dengan si Om, makin buat saya semakin kangen untuk pulang dan bertemu mereka.

Salam, sungkeman, dengan menceritakan apa saja yang terjadi dalam hidup saya disini.

Tapi, bisa apa? pertama kalinya tanpa mereka. Hibur saya dalam diri.

Diperjelas, dengan hilir mudiknya update-an facebook news feed teman-teman Indonesia disini yang sudah tiba di rumah bareng keluarga.

Menelan ludah pun terasa berat, nyelekit.

Ingin cepat-cepat panggil abang tuk-tuk, tolong antarkan saya sekarang menuju airport!

Emosi dan perasaan senang yang diproses Dopamin dalam otak, menyulap antusiasme momen  ‘pulang ke rumah’ adalah spesial.

Tolib dan anak buahnya, sudah pasti telah sampai di kampungnya masing-masing. 

Beres-beres rapihkan rumah, dikelilingi aroma wangi bumbu rendang yang tercium keluar dari balik dapur mereka.

Mereka sudah pasti bersiap untuk besok takbiran.

Berapapun uang yang terkumpul, setelah banting tulang di ibukota. Nominal bukanlah menjadi masalah besar.

Asalkan bisa sampai rumah, cukup seadanya dibalut kesederhanaan. 

Selebihnya, keluargalah yang menjadi kuncian pelengkap kekurangan semuanya.

Keluarga adalah pain-killer.

Sesuatu yang dulu saya tidak pernah anggap begitu penting dan meremehkannya…

hiraeth-577c30e56c7a61260c823350.jpeg
hiraeth-577c30e56c7a61260c823350.jpeg

Theory of ‘Tukang Warteg’, begitu om Maman bilang.

Mereka pulang, saya tidak.

Mereka bersama keluarga, saya tidak.

"Met lebaran mama, nenek, om — tante & adik-adikku di Jakarta."

Juga buat kamu gode, yang ramai lampu berpijaran, Tumbilatohe di ujung Celebes sana,.

Maaf belum bisa ada disampingmu.

lebaran-6-577c33b7729773cd0b72d271.jpg
lebaran-6-577c33b7729773cd0b72d271.jpg
And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
Let me go home …

Home, Michael Buble.

- Phnom Penh.

Dini hari, dua jam sebelum ramainya Shalat Ied tiba di Jakarta.

Setelah kepergian kakek di tahun 2007, yang kemudian disusul papa saya lima tahun berikutnya. Om maman otomatis berdiri sebagai perwakilan keluarga besar H.Muchtar.

“Nah itu dia om…” saya menjawab sekilas. Sambil pelan-pelan mikir lanjutannya.

Nah itu dia gimana?

Nah itu dia bakal pulang, atau nah itu dia….enggak!

Anjuran yang jarang saya dengar keluar darinya. Asumsi saya, ia merasa berperan untuk mengingatkan saya yang jauh disini.

Setelah kepergian kakek di tahun 2007, yang kemudian disusul papa saya lima tahun berikutnya. Om maman otomatis berdiri sebagai perwakilan keluarga besar H.Muchtar.

“Nah itu dia om…” saya menjawab sekilas. Sambil pelan-pelan mikir lanjutannya.

Nah itu dia gimana?

Nah itu dia bakal pulang, atau nah itu dia….enggak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun