Saya selalu heran kenapa Hanoman memutuskan untuk berselibat. Aku selalu malu mengakui kepada Hanoman. Bahkan aku malu untuk menuliskan walaupun Hanoman sendiri yang menyuruh. Aku juga malu memasukan rasaku ke dalam nada ketika hanoman menyuruhku memetik alat petiku dan ia meniup serulingnya.
Seandainya Hanoman memiliki kepekaan yang tinggi karena telah melakukan semedi berkepanjangan, maka ia pun pasti mengetahui kenapa aku malu memasukan rasa pada nada-nada dan tulisan. Maka seperti layaknya manusia dengan derajat yang setinggi-tingginya, ia pun tahu bagaimana memilih sikap, tentang bagaimana seharusnya, kapan harus begini dan harus begitu. Ia pun tidak memaksaku mengiringi permainan serilingnya dengan alat petiku, ia bangkit dan mengambil sebuah lukisan yang sudah kumal kemudian memberikannya padaku.
"Trijata" katanya. Aku terpaku melihat lukisan.
"Apa arti berselibat sebenarnya?" Aku bisa melihat kemanusiaan dari matanya.
"Berselibat mencoba terbebas dari ketergantungan duniawi, itu saja tidak lebih" Kali ini aku bisa melihat kebataraan dari matanya. Dan aku mulai bisa mengerti cara berpikirnya. Tunggu dulu...aku mulai bisa mengerti apa itu berselibat, lebih dari itu aku mulai bisa bercakap-cakap dengannya tanpa bicara, luar biasa dengan kebataraannya ia mengajaku bercakap-cakap dengan batin.
Kini sudah tidak jelas lagi siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab, siapa yang berpendapat siapa yang menyanggah. Tidak ada lagi batas batin antara kami, semua ingatan masing-masing kami dari sejak lahir sampai sekarang bisa diputar kembali dan dirasakan kembali secara bercampur dalam masing-masing pikiran kami. Sehingga aku dapat merasakan bagaimana Hanoman ketika kecil, ketika bertemu Rama, Rahwana, Trijata, dan semuanya. Begitu juga hanoman merasakan semua rasa dalam periode kehidupanku.
Hingga tidak ada lagi pertanyaan walaupun jawabanya tak pernah akan habis.
"Dulu lukisan ini tidak kumal seperti ini. Begitu cemerlangnya dulu lukisan ini, tapi akan lekas usang seperti
segala sesuatu yang berumur dan berbentuk." Aneh kali ini aku seperti melihat sorot mata seorang anak yang meminta perlindungan ibunya. Apakah karena tadi ia telah mengetahui bagaimana rasanya menjadi manusia biasa yang selalu merasa khawatir akan keberlangsungan hidupnya, tidak setenang para Batara yang memang hidup dengan berbagai keajaiban.
Aku belum pernah merasakan ketenangan yang setenang-tenangnya, apakah ini perasaan para barata?
'Mainkanlah serulingmu Hanoman. Aku menemukan sebuah persembahan nada yang semestinya bisa dijangkau oleh kejiwaan manusia, batata, dan seluruh makhluk." Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku menyuruh Hanoman meniup serulingnya dan aku mulai terpanggil untuk memasukan rasa dalam sebuah persembahan nada yang bahkan aku sendiri tidak tahu dari nada apa akan dimulai.
Nada-nadapun mengalun memenuhi semesta. Alam yang mulai rusak ikut menyumbangkan teriakannya, seketika dunia tergetarkan oleh jeritan alam. Seekor serigala di puncak bukit tengadah menatap langit, melolong membangunkan serigala-serigala lain di seluruh penjuru negeri. Harmoni alam terbentuklah.
Tidak ingin rasanya menghentikan petikan-petikanku pada dawai yang mengencang, Hanoman pun seperti tidak memerlukan bernapas, aluna serulingnya terus diperdengarkan ke seluruh penjuru dunia. Seperti seorang yang sedang berciuman mesra dengan kekasihnya yang telah lama berpisasah tak ingin cepat berlalu.
Begitupun nada-nada ini telah dimainkan tanpa mengenal aturan waktu. Aku terus saja memejamkan mata sejak lagu ini dimainkan, ketika aku merasakan keberadaan Hanoman lenyap, mataku terbuka, dan Hanoman memang lenyap dengan serulingnya tetapi tidak dengan lukisan Trijata.
Aku menghentikan petikan alat petikku, tetapi alunan seruling dan teriakan semesta masih membahana.
"Apa kau, kalian, meninggalkan aku. Aku sendirian di sini. Aku tidak bisa memetik dawaiku jika kalian hanya meninggalkan suara yang membahana ini. Aku mohon..."
"Kau tidak pantas memohon, aku seharusnya memohon agar kau melanjutkan lagu ini, tetapi aku juga tidak pantas memohon, hei kita rupanya tidak pantas memohon akan kewajiban yang harus kita laksanakan. Aku punya kewajiban dan kau juga. Buatlah agar lagu ini jangan sampai berhenti dinyanyikan oleh semeata tanpa aku meniup seruling di hadapanmu. Aku punya jangka waktu seperti semua makhluk yang berbentuk. Harus ada generasi lain yang menyampaikan nyanyian ini kepada semesta."
Semesta memang tidak pernah berhenti menyanyikan persembahan nada ini, tetapi para pemain instrumen yang berbentuk haruslah berganti generasi, dengan rasa yang diwariskan generasi sebelumnya, diharapkan agar rasa itu kembali dirasai lain oleh generasi lain sehingga menimbulkan bahana dan nuansa lain yang baik.
Lukisan Trijata semakin usang, lantas suatu hari seorang pasangan muda-mudi menemukannya ditempat sampah di sebuah pasar barang antik, kemudian memungutnya. Kelak setelah lama menikah dan menjadi tua, mereka memajang lukisan itu di tengah rumah kemudian mereka gemar menatap lukisan usang Trijata sambil mengenang berbagai kisah mereka, kemudian terdengarlah oleh mereka alunan dawai yang dipetik, suara serluling, dan teriakan semesta yang membahana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H