Mohon tunggu...
Egia Azhari Sitepu
Egia Azhari Sitepu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Seni

Kenapa Seni Seperti Tarawanga Harus Tetap Dilestarikan di Era Modern

16 Juli 2024   00:46 Diperbarui: 16 Juli 2024   00:49 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesenian Tarawangsa (Dokumentasi Pribadi)

Tarawangsa merupakan sebuah seni yang berasal dari Rancakalong, Sumedang. Sebagai sebuah alat musik gesek, Tarawangsa terdiri dari dua buah dawai. Meskipun demikian, dari dua dawai tersebut, hanya satu dawai saja yang sepenuhnya digunakan dalam kesenian ini.

Dengan bentuk yang hampir mirip rebab, alat musik ini dapat melantunkan suara yang sangat khas, meskipun hanya dengan memanfaatkan satu Dawai. terlebih ketika dimainkan bersamaan dengan Jentreng, alat musik khas sunda lainnya di Jawa Barat.

Meskipun terkesan tak terlalu unik dari segi praktikalitas sebagai sebuah alat musik, namun unsur sesungguhnya yang membuat Tarawangsa menjadi sebuah seni yang unik bukanlah alat itu sendiri, melainkan muatan makna, budaya, dan sejarah yang berada di baliknya.


Mengenal kesenian Tarawangsa

Sebagai sebuah alat musik tradisional, keberadaan Tarawangsa dapat ditarik hingga berabad-abad silam; tepatnya hingga abad ke-10 silam, yang tercantum didalam kitab-kitab kuno di Bali dengan kata trewasa atau trewangsah. Selain itu, keberadaan Tarawangsa juga tercatat dalam naskah kuno Swaka Darma, yang telah menyebut kesenian ini sebagai sebuah alat musik.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, biasanya Tarawangsa dimainkan hanya bersamaan dengan alat musik Jentreng. Selain dua dawainya, hal lain yang membuat Tarawangsa unik dibanding alat musik lainnya ialah gesekan/bownya yang terdiri dari banyak helai tali. Bahkan dalam sejarahnya, tali yang digunakan awal mulanya merupakan tali yang terbuat dari ekor kuda. 

Namun, hal yang paling membuat kesenian tarawangsa menjadi sebuah kesenian yang sangat unik adalah, ini merupakan alat musik religius. Menurut Abah Pupung, salah seorang sesepuh Sangar Tarawangsa Sunda Lugina, pada saat era persebaran islam di Indonesia, alat musik ini digunakan untuk menyebarkan agama islam.

Menurut kisah setempat, pada masa Walisongo, seni Tarawangsa digunakan untuk menyebarkan agama islam oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Raden Kian Santang.

Sebelum islam masuk ke Indonesia, seni ini merupakan sebuah media yang digunakan oleh warga setempat, untuk mengucapkan rasa syukur mereka atas hasil panen yang melimpah terhadap Dewi Sri, atau Dewi Padi. 

Sebagai contoh, tujuh lagu pokok yang dimainkan dalam kesenian ini, seperti pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan pada mulanya dimainkan untuk mengundang Dewi Sri. 


Apa yang membuat tarawangsa Spesial

Ketika masyarakat Rancakalong merayakan hasil panen yang melimpah, petikan senar Jentreng, berbarengan dengan merdu lantunan suara Tarawangsa mulai dimainkan.

Dengan anggun, baik laki-laki maupun perempuan mulai menari mengikuti lantunan musik. Kegiatan tersebut dilakukan masyarakat sekitar untuk memanjatkan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan Tuhan yang maha esa.


Sebagai sebuah alat musik religius, hampir setiap hal yang terdapat dalam prosesi sakral ini memiliki makna tersendiri. Mulai dari sesajen, dekorasi ruangan, tarian yang dilakukan masyarakat, dan lain-lain. Sebagai contoh, buah-buahan dalam sesajen memiliki makna bahwa hidup kita di dunia harus berbuah sesuatu. Bukan untuk menjadi buah yang busuk, melainkan untuk menjadi satu buah yang baik.

Prosesi Tarawangsa dilaksanakan selama kurang lebih 9 jam, mulai dari waktu isya, hingga waktu subuh. Selama itu, baik pria maupun wanita bergantian satu sama lain untuk menari, mengikuti alunan musik yang tak kunjung berhenti hingga menjelang pagi.

Setiap tarian dan doa yang mengiringi lantunan musik Tarawangsa menggambarkan rasa syukur dan hati yang tulus dari para penari. Dalam Tarawangsa, prosesi ini merupakan bentuk komunikasi batin terhadap yang maha kuasa.

Berlawanan dengan kepercayaan banyak orang, meskipun seni Tarawangsa terdengar seperti seni yang mistis dan melenceng, namun pada kenyataannya, seni ini dilakukan semata-mata untuk memanjatkan rasa syukur kepada sang pencipta; sebuah doa dari yang fana kepada esa Tuhan.

Narasi agung dan budaya tradisional

Era modern telah tiba. Progresivisme hadir untuk menggerus konservatif, dan universalisme hadir untuk menggantikan pluralisme. Kian hari, satu persatu budaya mulai tergerus oleh zaman. Mereka kehilangan penerus, kehilangan orang yang mau untuk memaknai apa yang mereka lakukan. 

Meskipun di berbagai negara budaya mulai kembali digaungkan sebagai bentuk kritik terhadap modernisme yang hanya mementingkan nilai praktikalitas dan mengabaikan sepenuhnya nilai dan makna yang terkandung dalam budaya, namun sayangnya di Indonesia, budaya universalisme masih merajalela. 

Tak jarang, masyarakat di Indonesia cenderung menjunjung tinggi satu nilai budaya tertentu, tanpa memandang budaya lainnya. Uniknya, peristiwa demikian sesungguhnya dapat diamati dengan cukup mudah dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebagai contoh, beberapa dari kita mungkin menganggap bahasa inggris jauh lebih keren dan ekspresif untuk digunakan ketimbang bahasa daerah/indonesia. Atau, kita cenderung mengikuti cara berbusana dan arus Fashion di negeri-negeri eropa ketimbang mengenakan ragam pakaian asli khas Indonesia. 

Tanpa sadar, seringkali kita menerima narasi-narasi yang menggambarkan kedua budaya tersebut sebagai sesuatu yang "keren", atau "gaul", entah itu dari iklan, content creator yang kita tonton, dan lain-lain. Dan tanpa sadar, kita menerima narasi tersebut tanpa pikir panjang demi dapat mengikuti trend sosial di sekitar kita.

Akibatnya, mereka "yang lain" dan berbeda dari arus perlahan mulai tergerus oleh zaman, tergantikan oleh "yang satu"; sebuah awal dari kematian pluralisme. 

Sesungguhnya, kritik serupa telah digaungkan oleh filsuf postmodern terdahulu. Menurut Jean Francois Lyotard, narasi tersebut dikenal sebagai narasi agung. Narasi agung merupakan sebutan untuk sebuah cerita besar yang mengklaim memiliki kekuatan untuk menjelaskan seluruh sejarah dan pengetahuan manusia secara komprehensif. 

Narasi ini bertujuan untuk menyatukan semua aspek kehidupan manusia di bawah satu teori atau ide besar. Sebagai contoh, sains modern dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah, mengesampingkan bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti mitos atau tradisi. 

Lyotard mengkritik hal tersebut. Menurut Lyotard, pengalaman manusia terlalu beragam dan terfragmentasi untuk dijelaskan oleh satu narasi tunggal. Ia berpendapat bahwa realitas lebih baik dipahami melalui cerita-cerita kecil yang lebih spesifik dan lokal. Pasalnya, sifat narasi agung cenderung untuk mengabaikan konteks lokal dan spesifik. Padahal, setiap komunitas, budaya, dan individu memiliki pengalaman uniknya masing-masing, yang mungkin tak kalah "keren" dibandingkan seni yang terdapat dalam narasi agung.

Mengapa kita harus melindungi Tarawangsa dari zaman

Sebagai sebuah seni khas Sumedang yang sarat akan makna, tarawangsa dapat menjadi wadah bagi siapapun yang sedang mencari jati diri, maupun sekedar ingin memahami keunikan budaya tersebut. 

Dengan melindungi budaya lokal seperti Tarawangsa, tak hanya menghormati kekayaan warisan budaya sekitar, namun kita juga dapat memperkuat rasa identitas dan keberagaman yang membentuk landasan bagi inklusivitas dan kreativitas dalam masyarakat kita. 

Tarawangsa bukanlah hanya merupakan sebuah seni tradisional kuno dari masa lampau. Dirinya adalah alat penyebaran islam di masa lampau, dirinya adalah simbol kemakmuran hasil panen, dan dirinya merupakan bentuk rasa syukur masyarakat terhadap sang khaliq atas hasil panen yang melimpah ruah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun