Tarawangsa merupakan sebuah seni yang berasal dari Rancakalong, Sumedang. Sebagai sebuah alat musik gesek, Tarawangsa terdiri dari dua buah dawai. Meskipun demikian, dari dua dawai tersebut, hanya satu dawai saja yang sepenuhnya digunakan dalam kesenian ini.
Dengan bentuk yang hampir mirip rebab, alat musik ini dapat melantunkan suara yang sangat khas, meskipun hanya dengan memanfaatkan satu Dawai. terlebih ketika dimainkan bersamaan dengan Jentreng, alat musik khas sunda lainnya di Jawa Barat.
Meskipun terkesan tak terlalu unik dari segi praktikalitas sebagai sebuah alat musik, namun unsur sesungguhnya yang membuat Tarawangsa menjadi sebuah seni yang unik bukanlah alat itu sendiri, melainkan muatan makna, budaya, dan sejarah yang berada di baliknya.
Mengenal kesenian Tarawangsa
Sebagai sebuah alat musik tradisional, keberadaan Tarawangsa dapat ditarik hingga berabad-abad silam; tepatnya hingga abad ke-10 silam, yang tercantum didalam kitab-kitab kuno di Bali dengan kata trewasa atau trewangsah. Selain itu, keberadaan Tarawangsa juga tercatat dalam naskah kuno Swaka Darma, yang telah menyebut kesenian ini sebagai sebuah alat musik.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, biasanya Tarawangsa dimainkan hanya bersamaan dengan alat musik Jentreng. Selain dua dawainya, hal lain yang membuat Tarawangsa unik dibanding alat musik lainnya ialah gesekan/bownya yang terdiri dari banyak helai tali. Bahkan dalam sejarahnya, tali yang digunakan awal mulanya merupakan tali yang terbuat dari ekor kuda.Â
Namun, hal yang paling membuat kesenian tarawangsa menjadi sebuah kesenian yang sangat unik adalah, ini merupakan alat musik religius. Menurut Abah Pupung, salah seorang sesepuh Sangar Tarawangsa Sunda Lugina, pada saat era persebaran islam di Indonesia, alat musik ini digunakan untuk menyebarkan agama islam.
Menurut kisah setempat, pada masa Walisongo, seni Tarawangsa digunakan untuk menyebarkan agama islam oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Raden Kian Santang.
Sebelum islam masuk ke Indonesia, seni ini merupakan sebuah media yang digunakan oleh warga setempat, untuk mengucapkan rasa syukur mereka atas hasil panen yang melimpah terhadap Dewi Sri, atau Dewi Padi.Â