Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Kecewa

10 Oktober 2021   20:06 Diperbarui: 10 Oktober 2021   20:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam perjalanan peradaban manusia, pemuda merupakan generasi yang memiliki sensitifitas tinggi dalam mengindra kejanggalan di tengah masyarakat. Sebab, memang demikianlah fitrahnya. Rasanya sulit bagi kita membayangkan bapak-bapak -yang harus bekerja sehari-hari untuk mencari nafkah- turun ke jalan dalam rangka membela hak rakyat. 

Atau emak-emak -yang harus mengurus anak-anak dan keluarganya- berorasi dan sibuk rapat kesana-kemari membahas inisiasi gerak. Kalaupun aktivitas tersebut dilakukan bapak-bapak atau emak-emak, seharusnya kaum muda (mahasiswa) seharusnya lebih getol lagi dalam pergerakan mengingat beban hidup yang tidak seberat yang dipikul oleh orang-orang yang lebih dewasa.

Ya, itulah pemuda yang wajar memiliki idealisme serta radar yang kuat terhadap ketidakidealan di sekitarnya. Potensi besar ini seharusnya dimanfaatkan betul oleh negara sebagai saluran aspirasi rakyat, bukan justru diabaikan bahkan dihujat maupun dipersekusi. 

Termasuk terhadap persatuan pemuda yang tergabung dalam Aliansi BEM SI ini, seharusnya negara tidak boleh mengabaikan dan cenderung menjatuhkan mental para mahasiswa. 

Bila tidak ingin disebut antikritik, tidak ada salahnya menerima mahasiswa dengan tangan terbuka serta menjalin dialog dengan mahasiswa. Para mahasiswa ini seharusnya diapresiasi atas kepekaan dan kepeduliannya terhadap nasib negeri ini yang dibayangi oleh berbagai persoalan, termasuk korupsi.

Belajar dari Kekecewaan     

Di-ghosting setelah di-PHP-in memang mengecewakan dan menyakitkan. Apalagi di-PHP oleh pihak yang awalnya sangat dipercaya, relasi pemerintah dengan mahasiswa misal. Namun, alih-alih merenungi nasib, mahasiswa dapat merenungi kembali kemana arah perubahan yang tepat dan bagaimana strategi untuk mewujudkannya. 

Rasanya 'sudah cukup sampai di sini saja' mahasiswa mau dikelabui oleh janji manis pemberantasan korupsi selama akar permasalahan korupsi tak tercerabut secara sempurna. 

Sudah berapa kali penguasa menyatakan komitmennya untuk memerangi korupsi, tetapi korupsi lagi-lagi terungkap, bahkan yang sudah terungkap pun belum juga tuntas proses hukumnya. Ironinya, yang sudah dijatuhi hukuman pun, hukumannya masih relatif ringan dan minim menimbulkan efek jera. Bagaimana korupsi mau diberantas bila sistem yang ada masih membuka peluang yang sangat besar bagi tindak korupsi itu sendiri?

Permasalahan korupsi bukan satu fakta yang berdiri sendiri. Ia merupakan imbas dari permasalahan-permasalahan lain yang terjadi, yang nantinya juga akan berdampak pada kemajuan negeri ini. Bagaikan satu kartu domino di antara domino-domino lain, ia tidak berdiri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan korupsi merupakan permasalahan sistemik atau disebabkan oleh sistem hidup yang ada. 

Secara nyata, sistem yang diterapkan di negeri ini adalah sistem demokrasi yang notabene 'anak kandung' dari sekulerisme yang meminimalisasi peran Tuhan dalam pengaturan publik. Kebijakan publik yang diterapkan bersumber dari para pejabat wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang notabene kental dengan pengorbanan berupa investasi yang tidak murah demi memperoleh jabatan tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun