Kehidupan milenial hampir tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi informasi yang kini terus bergerak cepat. Dapat dipastikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan orang kini sudah bersentuhan dengan teknologi. Semua lini kehidupan manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan terhadap teknologi.Â
Arus informasi bahkan kini bisa diakses dengan begitu mudah dan cepat tanpa batas. Semua bisa menjangkau informasi dari seluruh dunia melalui gawainya masing-masing. Kehadiran teknologi informasi juga membuat ruang perjumpaan banyak orang seolah tanpa batas. Bisa berkomunikasi dengan semua orang dari berbagai negara, bisa mengekspresikan diri dan menyampaikan apa saja hanya mengandalkan gawai dan jari saja.
Beragam kemudahan itu tentu tidak selalu berbuah manis. Perkembangan teknologi informasi yang cepat menuntut manusia untuk terus bersaing, lari mengejarnya, dan menyesuaikan diri dengan kehadiran beragam perubahan.
Keterbukaan arus informasi di media sosial dan internet tidak hanya dipenuhi oleh konten positif tetapi juga disinformasi, hoaks, hasutan, dan ujaran kebencian.
Konten-konten negatif semacam ini sayangnya telah bercampur dengan informasi lainnya sehingga kerap kali masyarakat tidak bisa dengan mudah membedakannya. Akibatnya, tidak sedikit yang menerima mentah-mentah, mempercayai, hingga menyebarkan informasi negatif tersebut.
Bimas Islam sebagai salah satu unsur Direktorat yang ada di Kementerian Agama menyadari betul bahwa pada satu sisi perkembangan teknologi informasi pada sisi yang positif bisa dimanfaatkan untuk kebaikan dengan beragam program inovatif.
Dan untuk mencegah sisi negatif dari perkembangan teknologi infotmasi, Bimas Islam juga melakukan edukasi kepada generasi milenial khususnya selain beberapa program sebenarnya adalah program penambahan skil yang bertujuan meningkatkan kemampuan milenial agar mampu bersaing di era sekarang. Â Â
Di sesi pertama peserta diajak bertukar pikiran dengan Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M. Si selaku Kabag Kerjasama Luar Negeri Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI.Â
Pada sesi ini para peserta diajak untuk lebih mengenal lebih jauh tantangan yang dihadapi di era perkembangan teknologi dan informasi yang membanjiri jagat digital sehingga segala informasi bisa diperoleh dengan mudah baik itu informasi yang benar hingga hingga informasi yang salah.
Dr. Thobib mengingatkan bahwa di era persaingan global dan revolusi industri 4.0, manusia khususnya milenial harus mampu bersaing  dengan orang lain, terus mengasah dan mengisi diri dengan keterampilan dan kemampuan yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Dalam pemaparannya, Prof. Nur Kholis mengingatkan bahwa di era media sosial seperti sekarang ini persebaran hoaks begitu mudah dan sayangnya banyak orang yang mempercayainya. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa sebenarnya kehadiran hoaks sudah berlangsung sejak lama, bahkan sudah pernah ada pada saat Nabi hidup.
Dengan merujuk Kitab Sirah an-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, hoaks pada masa Nabi Muhammad terjadi pada tahun 8 Hijriyah berkaitan dengan kisah kaum Anshar dan Muhajirin.
Kisah tersebut bisa memberikan gambaran bahwa sosok Nabi yang Agung bahkan menjadi korban tuduhan hoaks dari orang pada masa itu, apalagi kini siapa pun bisa menjadi korban tuduhan hoaks atau bahkan bisa dengan mudah terhasut hoaks.
Era media sosial membuat setiap orang bisa berkomunikasi dengan banyak orang meski belum pernah berjumpa atau bahkan tidak pernah mengenal satu sama lain.
Risiko yang terjadi ada kalanya media sosial dijadikan sebagai ajang untuk saling mencaci, menghasut atau bahkan menyebarkan ketakutan dan kebencian kepada orang lain.Â
Konten negatif berupa hoaks, hasutan, dan ujaran kebencian sayangnya kerap kali menjadi membesar karena ada banyak orang yang ikut andil dalam membesarkan konten tersebut sehingga banyak orang ikut dalam pusaran arusnya.Â
Menghadapi hal semacam ini, Prof. Nur Kholis mengingatkan peserta dengan mengelaborasi isi dari Kitab Jam’ul Jawami’ karya As-Subki terkait dengan suatu perbuatan atau tindakan yang hukum awalnya adalah mubah tetapi ternyata jika dilakukan bisa menjadi wajib.
Dalam konsep Islam, mubah adalah sesuatu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan tidak ada pahala atau dosa jika mengerjakan atau meninggalkannya.Â
Beliau mencontohkan sikap diam. Diam adalah tindakan yang hukumnya mubah. Namun, jika diam itu dilakukan dalam konteks agar kita terhindar dari tidak terlibat melakukan perundungan kepada orang lain, agar tidak menuduh orang lain, tidak menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian maka diam yang sebelumnya hukumnya mubah kemudian  menjadi wajib yaitu jika dikerjakan mendapatkan pahala tetapi jika ditinggalkan mendapatkan dosa. Diamnya kita dalam konteks yang benar dan positif seperti itu akan mendapatkan pahala.
Sama halnya dengan menulis konten di media sosial hukumnya adalah mubah. Tetapi jika konten yang ditulis akan berdampak baik bagi wawasan masyarakat dan membuat mereka ikut terpengaruh menjadi lebih baik maka hukumnya adalah wajib.
Saat menyebarkan konten positif dan berusaha mengedukasi orang lain agar tidak terjebak hoaks, pasti di era media sosial ada orang yang membenci dan ada orang yang menyukai.
Untuk kebenaran dan sesuatu yang positif Prof. Nur Kholis mengutip Kitab Hilyatul Auliya, Â wajar sekali jika manusia dalam hidup menghalami masalah dan karena itu ia harus mampu menghadapi orang-orang yang tidak menyukainya, Nabi dan para ulama saja kala itu juga mengalami hal yang sama, mendapatkan banyak masalah dan tidak sedikit yang membenci mereka.Â
Hoaks menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Fenomena merebaknya hoaks juga terjadi di dunia hampir di semua negara termasuk negara-negara besar. Hoaks bahkan telah menimbulkan kekacauan bahkan membuat stabilitas keamanan, ekonomi menjadi terganggu.Â
Negara semaju apa pun meski mengandalkan otak dan rasionalitas faktanya kemampuan itu tidak menutup kemungkinan mereka akan terhindar dari hoaks justru masyarakat juga mudah terkena hoaks. Ia menjelaskan bahwa  informasi yang keliru membuat kerusakan dan menggiring opini banyak orang di negara maju untuk melakukan sesuatu yang belum pasti kebenarannya termasuk melakukan tindakan kekerasan.
Di Indonesia, berdasarkan data temuan hoaks periode Agustus 2018 sampai 30 November 2019 telah mencapai 3.901. Jumlah yang sangat besar tentunya dan memperihatinkan karena tidak sedikit orang yang kemudian mempercayai dan ikut menyebarkan hoaks tersebut.
Oleh sebab itu peran kaum milenial sangat penting sebagai perpanjangan tangan untuk ikut menjadi agen edukasi kepada orang lain mulai dari keluarga, teman, lingkungan sekitar agar mereka terhindar dari hoaks, berita bohong dan ujaran kebencian Literasi digital tidak pandang bulu, siapa pun harus memiliki untuk menyaring informasi yang didapatkan karena hoaks bisa meracuni siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H