Sedangkan tokoh 73,9 dan 80,7 mempertimbangkannya. Penggunaan politik identitas dalam pemilu dominan tidak setuju tetapi 32,9 responden setuju isu agama boleh digunakan saat pemilu.
Syamsuddin berpandangan meski agama dipertimbangkan sebagai faktor dalam menentukan pilihan ternyata tidak menjadi referensi responden dalam memilih caleg.
Argumen ini dikuatkan melalui hasil pemilu lalu yang menurutnya menjukkan bahwa partai Islam dan berbasis Islam gagal mengalahkan elektabilitas partai-partai lain perolehan suara mereka justru merosot dibandingkan pemilu 2014.
Dyadi sendiri sepakat bahwa politik identitas berpengaruh dalam pemilu 2019 tetapi menurutnya harus memisahkan antara pilpres dan pileg untuk melihatnya. Dalam pileg, partai berbasis agama tidak meraih suara yang signifikan.Â
Politik identitas bisa berpengaruh tapi sangat kontekstual pertama apakah pemilu itu bivolar atau multivolar. Pemilu DKI putaran kedua bivolar. Lalu ada polarisasi yang sifatnya tajam. 2018 tidak terjadi karena partai-partai membuatnya menjadi multivolar.Â
Seharusnya ambang batas presiden itu tidak ada agar multivolar tidak jadi bivolar. Dari riset SMRC dan LSI ditemukan ada tiga mengenai politik identitas di masyarakat: Pertama, makin tinggi jabatan yang diperebutkan maka makin tinggi kemauan orang untuk tidak memilih orang yang berbeda dengannya.Â
Kalau Bupati boleh, tapi Pesiden enggak boleh sama sekali; Kedua, makin banyak jabatan yang diperebutkan makin tidak masalah. Ini yang bisa menjelaskan identitas tidak berpengaruh dalam pileg; Ketiga, khusus pemimpin tertinggi tingkat ketidak mauan agama pemimpin yang berbeda itu masih sangat tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H