Jika sampai kerusakan alam terjadi, sebenarnya para perusak lingkungan sudah diancam secara tegas dalam al-Qur’an. Qs. Al-Maidah ayat 33 menyamakan hukuman bagi orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dengan hukuman orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya yaitu di salib atau dibunuh atau dipotong tangan dan kakinya atau diasingkan.
Sayangnya, perusakan alam juga dilakukan oleh oknum-oknum umat beragama. Karenanya diperlukan sebuah kajian yang mendalam bagaimana peran agama dalam menjawab permasalahan lingkungan. Selama ini mungkin masih banyak yang berpikir bahwa agama hanya terkait dengan ritual dan ajaran-ajaran tertentu, tidak berisikan ajaran mengenai masala lingkungan.
Kajian Etika dan Peradaban (KEP) yang diselenggarakan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Yayasan Persada Hati dan Universitas Paramadina, di Auditorium Nurcholis Madjid,  Rabu, 31 Juli 2019 hadir dengan pembahasan “Agama dan Masalah Lingkungan. Diskusi ini menghadirkan  Romo Andang Binawan dan Pipip A. Rifai Hasan selaku pembicara dan dimoderatori oleh Parid Ridwanuddin.
Menurut Parid Ridwanuddin, isu-isu agama dan lingkungan khususnya dalam konteks agama Islam belum banyak mendapatkan ruang  khususnya di Indonesia. Berbeda dengan kondisi di luar negeri yang sejak tahun 80-an sangat progresif, sudah ada pertemuan ulama-ulama Internastional yang membahas isu lingkungan misalnkan saja pertemuan di Yordania yang dihadari oleh Hasan Hanafi, Wahbah Zuhaili dan lain-lain.
Selama ini lanjutnya, isu lingkungan banyak dikaji dan didekati dengan pendekatan hukum dan kebijakan. Cukup banyak aturan hukum dan kebijakan yang mengatur isu lingkungan termasuk sangki jika terdapat pelanggaran. Tapi nyatanya dalam praktik di lapangan justru tidak sesuai.
Agama sebenarnya memiliki peran untuk menjawab isu-isu lingkungan. Tapi potensi dan kandungan itu tidak banyak digali dan diketahui umat beragama. Menurut Romo Andang, ada enam potensi penting dalam agama yang bisa menjadi titik temu atau celah untuk menjawab isu-isu lingkungan.Â
Potensi itu antara lain potensi internal berupa iman masing-masing individu, personal trust anggota terhadap agamanya terutama kepada pemimpin menjadi pontensi yang penting, potensi eksternal terkait institusi, dan sosial trust. Iman menurut Romo akan menjadi modal orang bisa menghayati seluruh pergumulannya berelasi dengan tuhan jika dia sudah berelasi dengan alam.
Sayangnya menurut Romo, selama ini umat beragama justru terhipnotis dan menelah mentah-mentah tafsir keagamaan Antroposentris. Karena itu perlu dilakukan upaya  mendekonstrunsi pandangan teologi kita untuk membenahinya.
Dalam praktik ritual keagamaan, nilai-nilai cinta lingkungan sudah seharusnya dimasukkan dan diajarkan oleh para pemuka agama misalkan saja dengan mengajarkan sikap untuk irit dan tidak berlebihan menggunakan air saat berwudhu atau bagaimana wudhu yang baik dengan hemat air. Usaha semacam ini bisa dilakukan para pemuka agama dengan menyisipkan nilai-nilai cinta lingkungan dalam praktik-praktik keagamaan.
Romo sendiri mencontohkan usaha yang bisa dilakukan di Katolik misalnya  dalam praktik ritual janji baptis janji disisipi janji untuk tidak merusak lingkungan hidup. Penyisipan ini secara internal itu masuk ke dalam kesadaran para penganut agama dan diharapkan bisa diaktualisasikan. Agama menurut Romo bisa memainkan empat porsi penting untuk mengatasi masalah lingkungan yaitu ikut memperbaiki, mengadvokasi, politik, dan membentuk habitus.
Pipip A. Rifai Hasan lebih menjelaskan bahwa perlu upaya pemaknaan ulang terhadap kata-kata kunci dalam agama yang implikasinya akan berkaitan dengan isu lingkungan misalkan saja khilafah dan amanah. Tugas manusia sebagai wakil Tuhan tidak untuk mengeksploitasi alam tetapi untuk memeliharanya, karena itu menurut Pipip konsep amanah untuk menjaga alam ini kerap dilupakan dan tidak dikaitkan dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.