Mengenal Sang Putra Minang
Buya Hamka, begitulah banyak orang menyebutnya dan menuliskan namanya di dalam berbagai literatur. Nama itulah yang lebih banyak dikenang dan dikenal oleh orang banyak termasuk generasi masa kini. Saat ditanya kepanjangan dari nama itu, mungkin sebagian hanya mengerenyitkan dahi atau menggelengkan kepala. Apalagi jika ini ditanyakan kepada anak-anak muda yang meski mempelajari dan membaca karya-karya Buya Hamka, belum tentu tahu kepanjangan dari nama itu.Â
Hamka adalah singkatan dari nama aslinya yaitu Haji Abdul Malik Amrullah, sedangkan 'Buya' merupakan panggilan khas Minangkabau untuk orang yang dituakan atau dimuliakan karena keilmuannya.
Sosok ulama kharismatik yang sederhana ini telah mampu mengukir kisah perjalanannya dalam bangsa ini. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama, tapi ada begitu banyak gelar atau sandangan yang patut disandangkan kepadanya seperti cendikiawan, akademisi, tokoh Muhammadiyah dan seorang sastrawan.
Hamka merupakan anak dari Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan nama 'Haji Rasul' yang merupakan seorang ulama dan tokoh terkemuka di Minangkabau.
Ia dilahirkan di Maninjau pada 16 Februari 1908. Dalam perjalanan hidupnya, Hamka tidak sempat mengenyam pendidikan formal hingga tingkat lebih tinggi. Ia hanya sampai sekolah dasar, dan sampai dewasa lebih banyak belajar agama. Hamka lebih banyak belajar secara otodidak yang menghantarkannya hingga menjadi seorang ulama terkemuka. (Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah: 2002).
Berkarya Sepanjang Usia
Buya Hamka merupakan seorang ulama yang produktif. Seorang ulama yang dari jari-jemarinya mampu melahirkan banyak karya yang menggugah pengetahuan dan perasaan banyak orang. Â Karya-karyanya di bidang agama masih dikaji hingga kini di berbagai kalangan tidak hanya di masyarakat,tapi juga di lingkungan akademik, dalam negeri hingga luar negeri.Â
Keuletan dan ketekunan Buya Hamka dalam menulis, tidak lahir dari ruang kosong. Ia terus melatih dan mengasah kemampuan menulisnya dengan masuk sebagai seorang jurnalis dan kolumnis. Lewat pengalamannya inilah, Hamka semakin rajin untuk menulis. Kemampuan menulis memang merupakan anugerah yang telah dibekalkan oleh Tuhan kepada manusia sejak lahir. Kemampuan itu bisa terwujud, jika manusia mampu mengaktualisasikannya dan terus berlatih.
Sejak muda, sebetulnya kemampuan menulis Hamka sudah berkembang. Meski tidak pernah mengecap pendidikan formal ke jenjang lebih tinggi, Hamka telah banyak melahap banyak buku dari berbagai genre baik itu buku pemikiran hingga sastra. Meski otodidak, bekal ini jugalah yang kemudian semakin dipertajam dengan pergaulannya yang luas dengan banyak orang dan pengalaman bekerjanya.
Hamka memiliki banyak karya-karya yang meliputi banyak bidang mulai dari kajian keagamaan seperti tafsir, tasawuf, sejarah, hingga pada bidang sastra. Ketokohannya juga diakui di Timur Tengah dan Malaysia. Tidak kurang 18 buah karya yang lahir darinya, belum ditambah dengan karyanya dalam bentuk artikel. (M. Yunan Yusuf dkk: 2005).