Perguruan Tinggi dengan lingkungan akademiknya  tidak bisa lepas dari kegiatan riset dan publikasi ilmiah. Garis-garis dari Tri Dharma Perguruan Tinggi seolah menjadi pecutan bagi para akademisi untuk terus berkontribusi kepada masyarakat, lingkungan dan ilmu pengetahuan, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan riset yang dapat bermanfaat untuk banyak orang termasuk mempublikasikan berbagai karya ilmiah. Mempublikasikan karya yang telah kita lakukan dapat menjadi media penyampai ide, gagasan dan solusi atas berbagai masalah.Â
Beberapa tahun terakhir, sempat terdengar di berbagai media yang mempermasalahkan bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal riset dan publikasi ilmiah. Â Para akademisi dan peneliti dianggap kurang bergairah dan minim minat untuk menggalakkan riset dan publikasi ilmiah.Â
Sejatinya, tuntutan untuk melakukan riset dan publikasi ilmiah sangat melekat bagi para akademisi. Â Baik itu secara formal melalui aturan-aturan, maupun secara moral. Â Secara formal seseorang yang memiliki gelar yang tinggi apalagi hingga guru besar dituntut untuk terus melakukan riset dan publikasi ilmiah setiap tahunnya. Jika itu tidak dilakukan, pihak terkait bisa saja melakukan evaluasi dan menurunkan pangkat atau gelar para akademisi tersebut.Â
Di sisi lain secara moral, Â gelar yang didapatkan tidak berarti menjadi tanda selesainya seorang akademisi termasuk mahasiswa dalam dunia akademik, tapi gelar adalah tanggung jawab moral yang diemban serta menjadi penanda bagi para akademisi untuk terus berkontribusi bagi masyarakat, lingkungan dan ilmu pengetahuan.
Sudah lumrah jika di tingkat pascasarjana para mahasiswa baik magister maupun doktoral baru boleh mengambil ijazah jika tesis maupun disertasi mereka telah diterbitkan menjadi buku dan dipublikasikan di jurnal internasional.
Lalu setelah itu bagaimana? Apakah jika setelah mendapatkan ijazah mereka tidak lagi produktif menulis dan tidak menjadi tenaga pengajar akan tetap diwajibkan untuk menulis dan mendapatkan sangsi jika tidak? Â Ini adalah tugas dan jawaban yang perlu dipikirkan secara matang.Â
Jika kondisi minimnya riset dan publikasi ilmiah selalu mengandalkan para akademisi yang memiliki gelar yang tinggi, maka peningkatan indeks hasil riset dan publikasi ilmiah Indonesia tidak akan bergerak secara drastis.
Sebenarnya ada solusi lain yang bisa ditingkatkan, yaitu menggalakkan riset dan publikasi ilmiah bagi para mahasiswa termasuk mahasiswa sarjana.Â
Mahasiswa dibentuk dengan sikap kritis dan dipenuhi dengan tugas yang diberikan oleh para dosen. Makalah yang selama ini dibuat oleh para mahasiswa hanya menjadi tumpukan file yang tersimpan setelah dipresentasikan atau dinilai. Tugas-tugas itu jika dikembangkan dan diolah lebih baik sebenarnya akan layak untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah.Â
Jika publikasi ilmiah hasil dari para mahasiswa sarjana dianggap kurang layak atau kurang berkualitas, maka para pimpinan Perguruan Tinggi dan pihak terkait sudah seharunya memfasilitasi atau ikut meningkatkan potensi publikasi ilmiah para mahasiswa sarjana baik secara metodologis melalui pelatihan maupun dengan dukungan aturan dan finansial.Â
Jika para dosen negeri melakukan riset dan publikasi ilmiah, mereka akan mendapatkan poin yang akan berpengaruh terhadap pangkat mereka yang dapat menghantarkan mereka ke puncak karir para akademisi yaitu sebagai guru besar. Lantas bagaimana dengan mahasiswa sarjana? Apa yang akan didapatkan oleh mereka jika melakukan riset dan publikasi ilmiah? Â
Di beberapa Perguruan Tinggi meski belum terlalu banyak, riset dan publikasi ilmiah yang dilakukan oleh para mahasiswa sarjana menjadi bagian dari poin yang harus mereka kumpulkan agar bisa melakukan sidang skripsi,terlepas dari kegiatan lainnya yang juga memiliki poin yang sama.Â
Pihak Perguruan Tinggi dan Kementerian terkait juga dituntut untuk menyediakan bantuan biaya riset yang selama ini lebih banyak diperuntukkan bagi para dosen, sudah seharusnya juga mulai diberikan bagi para mahasiswa baik bersifat individu maupun kelompok yang sedang melakukan atau tertarik untuk melakukan riset ilmiah.Â
Pihak Perguruan Tinggi juga harus mendukung para mahasiswanya karena karya-karya mahasiswa dan dosen ikut andil menambah nilai dalam akreditasi kampus.
Karena itu, saat para mahasiswa yang telah melakukan riset yang akan mempresentasikan karya mereka di luar kampus, pihak kampus juga selayaknya memberikan sokongan dana untuk kelancaran perjalanan mereka. Jangan berikan yang biasa dan murah tapi setidaknya berikan yang luar biasa karena mereka adalah bagian dari Anda dan membawa nama baik almamater.Â
Mungkin banyak mahasiswa yang sebetulnya telah menulis buku, menulis jurnal, melakukan riset dan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, akan tetapi tidak mereka publikasikan ke pihak kampus, karena bagi mereka kampus tahu atau tidak tidak ada untung yang didapatkan oleh para mahasiswa.
Para mahasiswa hanya dituntut untuk menyerahkan karya atau sertifikat, sedangkan pihak kampus tidak pernah memberikan intensif atau apresiasi kepada mereka. Kondisi ini perlu dipelajari dan direnungi bersama.Â
Riset dan publikasi ilmiah sesungguhnya adalah bagian dari media dan wadah bagi para akademisi untuk berekspresi dan menunjukan diri mereka. Â Jika dahulu mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktu mengikuti seminar, simposium, perlombaan dan lain sebagainya, kini mahasiswa sarjana sudah mulai masuk ke ranah lomba artikel ilmiah, melakukan riset dan penemuan, serta menulis di berbagai jurnal ilmiah.Â
Jurmal Ilmiah sendiri ada yang terdaftar di LIPI tapi belum terakreditasi oleh Kementerian Riset,Teknologi dan Pendidikan Tinggi, ada juga yang terdaftar dan sudah terakreditasi oleh Kemenristekdikti.Â
Para calon kontributor harus memahami bahwa pada jurnal terakreditasi ada kondisi seolah kita yang membutuhkan jurnal teesebut. Â Karena alesan itu, para kontributor biasanya tidak akan diberikan honorarium. Mengapa saya mengatakan bahwa ada kondisi seolah kita yang membutuhkan jurnal terakreditasi, karena dengan menulis jurnal ilmiah dapat meningkatkan kredit atau poin bagi dosen atau tenaga pengajar negeri. Lantas bagaimana dengan nasib mahasiswa yang mengirimkan artikelnya di jurnal akreditasi?Â
Jika kita hanya berpikir nilai atau materi pasti akan kecewa. Tapi bagi saya menulis di jurnal terakreditasi memberikan kepuasan batin tersendiri.  Karena telah berhasil masuk  ke sebuah lingkungan yang memiliki level tinggi yang tentu sebetulnya banyak orang yang ingin tulisannya tembus di jurnal akreditasi. Â
Terkadang juga ada celetukan yang mempertanyakan mengapa saya menulis jurnal ilmiah khususnya di jurnal terakreditasi padahal bagi mereka itu tidak berdampak penting bagi saya karena saya bukan seorang dosen, tapi jawaban saya adalah seperti yang sebelumnya menulis adalah penting bagi saya terlepas dari itu menghasilkan atau tidak.Â
Bagi yang berpikir untuk berbagi ilmu dan dalam kesempatan yang sama ingin mendapatkan sedikit materi, mungkin pilihan dapat jatuh pada jurnal yang belum terakreditasi yang pada prinsipnya pihak pengelola akan selalu membuka penerimaan artikel baru karena memang jurnal dituntut untuk selalu terbit setiap tahun. Biasanya pihak pengelola akan memberikan intensif atau honorarium bagi para kontributor.
Menulis di jurnal kadang mudah tapi adakalanya begitu rumit. Â Ada beberapa patokan yang harus dipatuhi oleh para calon kontributor saat akan mengirimkan artikelnya pada sebuah jurnal. Â Ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan dan diaati oleh para calon kontributor. Â
Selain adanya tema tertentu yang ditentukan oleh pihak pengelola jurnal, tersapat juga sistem penulisan yang berbesa dan tentu saja terdapat standar ketat untuk menghindari plagiasi. Setiap jurnal memiliki banyak perbedaan dalam sistem penulisan dan pengutipan referensi ada yang menggunakan Turabian, Chicago, APA, Â dan lain sebagainya.Â
Cara pengiriman naskah bagi para calon kontributor biasanya pihak pengelola jurnal akan menerima naskah melalui email dan jika sudah masuk pada tahapan review barulah kontributor diminta untuk membuat akun di online journal system (OJS) atau sebaliknya kontributor sejak awal diminta untuk membuat akun dan mengirimkan naskah melalui OJS.
Penulis jurnal biasanya harus bersabar saat tulisannya telah masuk ke redaksi, dari dewan redaksi kemudian naskah dilanjutkan ke para reviewer untuk diperiksa konten dan sistematika penulisannya termasuk cek plagiarisme. Apalagi jika pihak pengelola jurnal menerapkan prinsip double blind journal atau dua orang pereview memang memerlukan waktu yang tidak sedikit. Â
Butuh kesabaran dari seorang penulis. Tentu saja harus mengecek setiap waktu email yang diatur dalam OJS jurnal sehingga segala perubahan atau informasi termasuk informasi mengenai perkembangan naskah akan dapat kita ketahui melalui email yang masuk.
Menulis di jurnal ilmiah sekali lagi dapat menjadi media dan wadah bagi para mahasiswa sarjana untuk mengekspresikan diri dan berbagi ide kepada dunia. Â
Tentu Anda akan senang meski status Anda masih sebagai mahasiswa sarjana tapi telah menulis di begitu banyak jurnal ilmiah dan tulisan Anda dibaca dan dirujuk oleh para peneliti dengan gelar yang lebih tinggi atau digunakan oleh para peneliti luar negeri. Mari terus berkarya dan menjadi generasi yang bermanfaat bagi semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H