[caption caption="Sumber Foto kiriman WhatsApp"][/caption]Masyarakat Indonesia mungkin tidak asing dengan sosok yang satu ini. Mungkin saja sering mendengar petuah-petuahnya dan namanya yang disebut-sebut orang. Seorang Bapak Bangsa, ia juga digelari sebagai Bapak Humanis pembela kaum tertindas. Seorang Ulama asal Jombang yang berpikir dan memiliki visi ke depan bahkan terkadang melampaui zamannya sehingga setiap langkah dan pikirannya sulit dipahami oleh masyarakat awam. Gerak-geriknya kerap kali menimbulkan kontroversial. Namun, bagaimana pun beliau adalah seorang Cendikiawan Muslim yang menjadi panutan dan guru bagi banyak orang. Ia bahkan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4 walau pun hanya sebentar. Beliau adalah KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di sapa Gus Dur. Gus Dur dalam satu sisi bersikap anti kompromi dan kadang membuat pusing orang-orang. Di sisi lain, banyolan atau humornya selalu di nanti karena bukan hanya mengocok perut, tetapi humor Gus Dur itu memiliki nilai-nilai filosofis.
Tulisan ini merupakan upaya rangkuman saya terhadap beberapa buku yang melukiskan sosok dan pemikiran Gus Dur. Sehingga sosok Gus Dur tidak hanya dilihat dari satu sisi saja akan tetapi banyak sisi yang dapat dilihat dan dinilai.
Imam Anshori Saleh. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur. Cet. 1. Jakarta: Erlangga, 1999.
Dalam buku tersebut di jelaskan beberapa buah pikiran Gus Dur yang turut mewarnai cakrawala pemikiran Indonesia dan Dunia. Pandangan-pandangan beliau merupakan respon terhadap berbagai fenomena yang terjadi. Tulisan dalam buku tersebut merupakan kumpulan dari artikel yang Gus Dur tulis di beberapa media surat kabar.
Pada bagian ke-13 “Dimensi Kehalusan Budi dan Rasa,” Gus Dur menyatakan “ Kehidupan akan timpang manakala kita mengabaikan kehalusan budi dan rasa, jika kita mengabaikan apresiasi yang benar terhadap kehidupan. Sekalipun terkadang apresiasi itu tidak sejalan dengan ideologi dan keyakinan rohani. Sebagai contoh, seorang sahabat saya, K.H. Mustofa Bisri memberi nama mushalla di belakang rumahnya dengan Pasujudan. Nama itu diprotes dan dipeributkan orang. Gus Mus dianggap terlalu kejawen dan abangan.” halaman. 80-81.
“Indonesia bukan negara Islam. Di samping Islam masih ada agama lain. Tidak mungkin Hukum Islam diterapkan dalam hukum negara, apalagi hukum ibadah. Seharusnya negara jangan sampai terlalu jauh mencampur urusan warga negaranya dalam menjalankan ibadah. Meskipun berisi perintah yang tegas dalam menjalankan ibadah, aturan itu tidak akan berdaya guna.” halaman. 65.
Dengan dasar itulah, kebebasan beribadah merupakan sebuah kemutlakan yang harus dijaga serta dilindungi. Karena apapun agama mereka, mereka adalah warga Indonesia yang harus sama di mata hukum dan negara.
Dalam bukunya, Zainal Arifin Thoha. Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam. Cet. 2. Yogyakarta: Kutub, 2003. Ia menjelaskan beberapa aspek kehidupan dan pemikiran Gus Dur serta pandangan penulis sendiri dalam menilai fenomena yang timbul dari sosok Gus Dur. Buku itu di mulai dari aspek Jagad Budaya, Humor, Mistis, Ormas, Pesantren, Politik, Kaum Muda, dan Jagad Demokrasi.
“Di negeri kita, sosok Gus Dur telah diakui banyak kalangan sebagai figur yang identik dengan “demokrasi” itu sendiri. Dialah barang kali, satu-satunya tokoh di Indonesia yang begitu getol bicara demokrasi, baik itu dari sudut sosial-budaya, politik, hukum maupun agama. Sudah barang tentu, semuanya ini menunjukkan kapasitas dan komitmennya untuk menegakan nilai-nilai demokrasi.” halaman. 294.
“Satu hal yang patut dibanggakan dari Gus Dur, nilai-nilai demokrasi yang ia usung bukanlah demokrasi model Barat ataupun Timur (kalau ada), melainkan demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai martabat kemanusiaan yang bersifat universal, baik itu yang ia gali dari agama-agama, dari filsafat, maupun dari tradisi-tradisi dan budaya Nusantara.” halaman. 294.
Abdurrahman Wahid. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Demokrasi. Cet. 1. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Buku ini berisikan bagaimana cara islam memandang isu-isu yang berkembang di Dunia dan masyarakat dengan berbagai pendekatan. Sehingga Islam sebagai agama yang damai dan mempermudah umatnya, turut serta dalam memberikan gambaran serta solusi terhadap dinamika yang terjadi.
Buku ini dibagi ke dalam beberapa tema besar yaitu: Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural dan Gerakan, Islam, Negara dan Kepemimpinan Umat, Islam, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Islam dan Ekonomi Kerakyatan, Islam, Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Islam tentang Kekerasan dan Terorisme, Islam, dan Perdamaian dan Masalah Internasional. Buku ini memang seakan mencerminkan secara ut5uh pandangan Gus Dur atas tema-tema yang beliau sendiri suguhkan.
Tulisannya mengenai Diskriminasi yang dialami Orang-orang Tionghoa dan upaya yang Gus Dur lakukan sebagai bentuk pembelaan untuk menyamakan posisi mereka di mata Negara ia mengatakan “Menganggap mereka sebagai orang lain adalah kesalahan besar yang harus di koreksi. Kalaupun ada ikatan dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan orang Minangkabau menggunakan nama-nama barat, seperti Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan mereka Barat. Karena itulah, saya selalu melawan anggapan atau penyebutan umat Budha yang sebagian besar dianut oleh suku Tionghoa di negeri ini, sebagai "warga keturunan". Mereka adalah orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang Aceh, orang Sunda dan sebagainya.” halaman. 37.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H