Mohon tunggu...
Felgi KikoFananta
Felgi KikoFananta Mohon Tunggu... Akuntan - Accountant - Tax Consultant

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Tugas Mata Kuliah Prof. Dr. Apollo (Daito): Penerapan Pajak Atas Transaksi Elektronik

19 Mei 2020   21:59 Diperbarui: 19 Mei 2020   22:32 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan zaman telah menggeser fungsi pasar dari ranah fisik ke ranah digital dengan sangat pesat. Dalam waktu kurang dari satu dekade, perkembangan transaksi digital meningkat dari 25,1 Triliun rupiah di tahun 2014 menjadi 144,1 Triliun rupiah di tahun 2018. Angka ini diperkirakan akan terus berlipat ganda. Sayang sekali, transformasi ini tidak diikuti penyesuaian aturan pajak dengan sama gesitnya. Peraturan pajak yang sudah berusia puluhan tahun dan masih berlaku hingga saat ini belum mampu mengakomodir cepatnya transaksi ekonomi digital. Padahal, dengan digitalisasi ekonomi, semua transaksi jadi jauh lebih mudah dipantau.

Keterlambatan peraturan pajak ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk melakukan penghindaran pajak yang seringnya mengedepankan alasan ketidakhadiran fisik dalam wilayah yurisdiksi sehingga perusahaan boleh tidak dikenai pajak. Menanggapi hal ini, Departemen Keuangan pun mempercepat penyusunan aturan yang mengelola Digital Service Tax (DST) dan pajak-pajak lainnya. Bayangkan bila transaksi digital selama tahun 2014 – 2019 dikenai pajak meskipun hanya sebesar 0,1% saja maka setidaknya negara memperoleh pemasukan sebesar 700 Miliar rupiah.

DST didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas arus penghasilan bruto yang diterima marketplace raksasa atau platform digital lainnya. Inilah yang dituju oleh para aparat pajak ketika memikirkan kebijakan untuk menanggapi penurunan ekonomi akibat Covid-19. Namun, di awal 2020, pemerintah belum kunjung menetapkan tahapan kegiatan yang hendak ditempuh dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan  untuk menerapkan pajak penghasilan atas transaksi pada sistem elektronik, utamanya PPh. Yang baru diusulkan oleh pemerintah adalah klausul mengenai pemungutan dan penyetoran PPN untuk impor barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak. Kemudian, Dirjen Pajak dapat meminta bantuan platform marketplace  atau platform lainnya untuk memungut dan menyetor PPN.

Untuk menanggulangi dan menanggapi tren penghindaran pajak, maka pemerintah terlebih dahulu harus mendefinisikan ulang Badan Usaha Tetap, dengan meniadakan keharusan kehadiran fisik sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai subyek pajak. Sebegai gantinya, pemerintah dapat mendasarkan syarat yang sama pada kehadiran ekonomi signifikan. Untuk tariff, sepertinya masih dapat mengadopsi tariff yang ada.

Di samping itu, klausul usulan terkait kehadiran ekonomi signifikan perlu dirincikan syarat terpenuhinya, misalnya apakah pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau platform yang berbasis nasional perlu memiliki batasan syarat omzet, nilai penjualan, dan/atau active user yang sama atau berbeda. Ini belum ditetapkan. Namun, untuk platform nasional, semua marketplace sudah dianggap memiliki kehadiran ekonomi signifikan. Yang masih menjadi PR selanjutnya adalah transaksi perdagangan yang terjadi melalui media sosial yang peruntukannya bukan perdagangan seperti instagram, twitter, facebook, dan lain-lain.

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika penentuan Badan Usaha Tetap berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan tak dapat dilaksanakan terkait tax treaty dengan negara lain, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah penerapan Pajak atas Transaksi Elektronik yang mencakup subyek antara lain: pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE).

Sama seperti PPN atas transaksi digital, maka rincian lebih detail tentang implementasi pengenaan PPh dan Pajak Transaksi Digital untuk aspek tariff, dasar pengenaan, tata cara perhitungan, dan pembayaran diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan  Menteri Keuangan.

Membahas pajak atas transaksi digital memang tidak bisa hanya dibahas dalam lingkup satu negara saja, karena beberapa marketplace seperti Amazon, AliExpress, Wish, Rakuten, dan Carrousel sudah melintasi perbatasan negara sehingga seluruh negara yang terlibat dapat mencapai kesepakatan dalam penetapan tariff. Tentu saja, jalan menuju konsensus tidak selalu mulus. Saat ini, Amerika Serikat menjadi pihak yang merespon secara negative usulan pengenaan pajak atas transaksi elektronik. Bukan pertama kalinya.

Sumber : Twitter @okezonenews
Sumber : Twitter @okezonenews

Terlepas dari konflik dan drama yang sedang berlangsung, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol  mengindikasikan adanya pembahasan kerangka kerja inklusif. Konsensus Global dinyatakan sudah menuju pada dua titik focus: (1) penentuan nexus dan metode alokasi laba usaha dan (2) pencegahan praktik Base Erosion dan Profit Shifting. Harapannya, dengan ditetapkannya nexus baru maka hak pemajakan suatu negara tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik dan alokasi laba juga akan mengindikasikan peran negara dalam value creation.

Yang menjadi masalah, adalah pertimbangan masing-masing negara berbeda dan agak sulit untuk memaksakan kesepakatan. Melangkah dari pesimisme tersebut, negara-negara pun secara sepihak menerapkan aturan domestic untuk memungut PPh atas transaksi digital. Seraya menunggu rampungnya konsensus pajak internasional terkait transaksi digital, tidak ada salahnya bagi Indonesia untuk menerapkan aksi unilateral dalam penetapan PPN dan PPh atas transaksi melalui sistem elektronik. Selanjutnya tinggal merevisi peraturan perpajakan apabila ada klausula yang bertentangan dengan konsensus global yang hendak dicapai nantinya. Implementasi konsensus tersebut nantinya akan menghadapi tantangan dari keengganan Amerika Serikat untuk ikut sepakat, karena ada perseteruan antara ekportir dan importir jasa digital.

Tantangan Perpajakan dari Ekonomi Digital

Ada beberapa bahasan isu dan permasalahan dalam laporan OECD BEPS Action 1 yang secara umum dapat dikategorikan menjadi dua hal: Direct Tax (PPh) dan Indirect Tax (PPN). Masalah ini timbul karena adanya upaya perusahaan multinasional untuk memiliki kehadiran ekonomi signifikan secara digital pada suatu negara tanpa disertai kewajiban pajak. Adanya atribusi nilai (laba atau beban) yang ternyatakan akibat data lokasi pemasaran relevan melalui penggunaan produk dan jasa digital.

Skema Base Erosion dan Profit Shifting yang dilakukan oleh perusahaan multinasional saat ini dalam konteks direct taxation menurut OECD BEPS Action 1  mencakup 4 unsur:

  • Minimalisasi pajak di negara pasar dengan menghindari kehadiran wajib pajak. Dalam hal ini, laba kotor digeser (laba bersih dikurangi) dengan memaksimalkan pengurangan laba pada tingkat pemberi penghasilan.
  • Pengenaan PPh yang kecil atau nol sama sekali di negara asal
  • Pengenaan pajak yang rendah atau nol sama sekali pada tingkat penerima pendapatan melalui klaim pada pendapatan non rutin substansial yang seringkali dibentuk melalui skema intra grup
  • Tidak terdapat current taxation dari keuntungan perusahaan atas tariff pajak yang rendah di tingkat ultimate parent company

Skema penghindaran tersebuy di atas melibatkan 3 elemen penting yaitu status Badan Usaha Tetap, adanya Controlled Foreign Company, dan transaksi transfer pricing. BErbagai model bisnis baru dalam ranah digital ekonomi dan lambatnya respon pemerintah atas perkembangan ini memungkinkan timbul celah yang dapat dimanfaatkan perusahaan ekonomi digital.

Tantangan dalam pemungutan PPN tidak jauh berbeda. Transaksi digital yang memungkinkan adanya arus barang atau barang tanpa bentuk melintasi batas negara, di mana Indonesia menganut PPN itu diterapkan dengan destination principle sehingga memperkecil rugi potensial penerimaan negara karena penggunaan teknologi dalam cross-border  transaction. Terkadang pengenaan PPN atau pengelitan PPN ini menjadi sarana untuk mempertajam persaingan antar pelaku usaha. Katakanlah, pedagang yang menjual melalui media sosial lebih memungkinkan untuk meniadakan PPN daripada pedagang yang menjual melalui marketplace sehingga dapat menjual lebih murah. Namun, pada waktu yang sama, risiko bertransaksi di luar marketplace juga besar karena marak penipuan. PR utama pemerintah terkait penerapan PPN atas transaksi digital ini haruslah meliputi insentif dan punishment atas kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang mencakup seluruh ranah digital, bukan saja Penyedia Perdagangan Sistem Elektronik, juga edukasi tanpa henti kepada segenap pelaku usaha yang terlibat di dunia ekonomi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun