Perkembangan zaman telah menggeser fungsi pasar dari ranah fisik ke ranah digital dengan sangat pesat. Dalam waktu kurang dari satu dekade, perkembangan transaksi digital meningkat dari 25,1 Triliun rupiah di tahun 2014 menjadi 144,1 Triliun rupiah di tahun 2018. Angka ini diperkirakan akan terus berlipat ganda. Sayang sekali, transformasi ini tidak diikuti penyesuaian aturan pajak dengan sama gesitnya. Peraturan pajak yang sudah berusia puluhan tahun dan masih berlaku hingga saat ini belum mampu mengakomodir cepatnya transaksi ekonomi digital. Padahal, dengan digitalisasi ekonomi, semua transaksi jadi jauh lebih mudah dipantau.
Keterlambatan peraturan pajak ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis untuk melakukan penghindaran pajak yang seringnya mengedepankan alasan ketidakhadiran fisik dalam wilayah yurisdiksi sehingga perusahaan boleh tidak dikenai pajak. Menanggapi hal ini, Departemen Keuangan pun mempercepat penyusunan aturan yang mengelola Digital Service Tax (DST) dan pajak-pajak lainnya. Bayangkan bila transaksi digital selama tahun 2014 – 2019 dikenai pajak meskipun hanya sebesar 0,1% saja maka setidaknya negara memperoleh pemasukan sebesar 700 Miliar rupiah.
DST didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas arus penghasilan bruto yang diterima marketplace raksasa atau platform digital lainnya. Inilah yang dituju oleh para aparat pajak ketika memikirkan kebijakan untuk menanggapi penurunan ekonomi akibat Covid-19. Namun, di awal 2020, pemerintah belum kunjung menetapkan tahapan kegiatan yang hendak ditempuh dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan  untuk menerapkan pajak penghasilan atas transaksi pada sistem elektronik, utamanya PPh. Yang baru diusulkan oleh pemerintah adalah klausul mengenai pemungutan dan penyetoran PPN untuk impor barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak. Kemudian, Dirjen Pajak dapat meminta bantuan platform marketplace  atau platform lainnya untuk memungut dan menyetor PPN.
Untuk menanggulangi dan menanggapi tren penghindaran pajak, maka pemerintah terlebih dahulu harus mendefinisikan ulang Badan Usaha Tetap, dengan meniadakan keharusan kehadiran fisik sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai subyek pajak. Sebegai gantinya, pemerintah dapat mendasarkan syarat yang sama pada kehadiran ekonomi signifikan. Untuk tariff, sepertinya masih dapat mengadopsi tariff yang ada.
Di samping itu, klausul usulan terkait kehadiran ekonomi signifikan perlu dirincikan syarat terpenuhinya, misalnya apakah pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau platform yang berbasis nasional perlu memiliki batasan syarat omzet, nilai penjualan, dan/atau active user yang sama atau berbeda. Ini belum ditetapkan. Namun, untuk platform nasional, semua marketplace sudah dianggap memiliki kehadiran ekonomi signifikan. Yang masih menjadi PR selanjutnya adalah transaksi perdagangan yang terjadi melalui media sosial yang peruntukannya bukan perdagangan seperti instagram, twitter, facebook, dan lain-lain.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika penentuan Badan Usaha Tetap berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan tak dapat dilaksanakan terkait tax treaty dengan negara lain, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah penerapan Pajak atas Transaksi Elektronik yang mencakup subyek antara lain: pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE).
Sama seperti PPN atas transaksi digital, maka rincian lebih detail tentang implementasi pengenaan PPh dan Pajak Transaksi Digital untuk aspek tariff, dasar pengenaan, tata cara perhitungan, dan pembayaran diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan  Menteri Keuangan.
Membahas pajak atas transaksi digital memang tidak bisa hanya dibahas dalam lingkup satu negara saja, karena beberapa marketplace seperti Amazon, AliExpress, Wish, Rakuten, dan Carrousel sudah melintasi perbatasan negara sehingga seluruh negara yang terlibat dapat mencapai kesepakatan dalam penetapan tariff. Tentu saja, jalan menuju konsensus tidak selalu mulus. Saat ini, Amerika Serikat menjadi pihak yang merespon secara negative usulan pengenaan pajak atas transaksi elektronik. Bukan pertama kalinya.
Terlepas dari konflik dan drama yang sedang berlangsung, Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol  mengindikasikan adanya pembahasan kerangka kerja inklusif. Konsensus Global dinyatakan sudah menuju pada dua titik focus: (1) penentuan nexus dan metode alokasi laba usaha dan (2) pencegahan praktik Base Erosion dan Profit Shifting. Harapannya, dengan ditetapkannya nexus baru maka hak pemajakan suatu negara tidak hanya terbatas pada kehadiran fisik dan alokasi laba juga akan mengindikasikan peran negara dalam value creation.