Mohon tunggu...
Eugenius Ervan Sardono
Eugenius Ervan Sardono Mohon Tunggu... Freelancer - Jangan mempermainkan Tuhan

Filsafat Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lampu Petromaks dan Merayakan Kebahagiaan

31 Desember 2020   16:29 Diperbarui: 28 April 2021   06:59 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyalakan kebahagiaan. | pexels

Entah apa yang mengantar memori saya kepada masa silam, seperti seorang perantau yang menelusuri kampung halamannya. Memang hari ini, saya menikmati secangkir kopi "Manggarai"- nikmatnya dapat, saya mesti berterima kasih kepada teman dari Manggarai yang baru datang.

Terima kasih, sekali lagi. Mungkin, hal tersebut membuat saya "bale nagi" - kata orang Larantuka. "Uli tong Ja", untuk meminjam ungkapan orang Tewoyan, Kalimantan Tengah, dan Kole beo (tentu saja bahasa saya, Manggarai tercinta).

"Lampu petromaks (Orang Manggarai: Lampu Gas). Dari beberapa sumber yang saya baca, Lampu petromaks sering juga disebut lampu petromaks gas. Maka, orang Manggarai bisa jadi, mengambil suku kata 'gas'. Gas- sebenarnya dari lampu gas, yang dijadikan sarana penerangan di rumah orang-orang yang berada di Manggarai pada zaman beberapa tahun silam.

Sebenarnya juga sampai sekarang ketika sebagian wilayah tanah kuni agu kalo (tanah kelahiran) ini belum terjangkau arus listrik. Di tempat lain, lampu jenis ini mungkin disebut petromaks. Penelusuran sejarah lampu gas memang bukan menjadi fokus perhatian saya.

Dari beberapa kisah lisan orang tua, mereka mengisahkan - yang memiliki lampu gas di rumahnya dahulu adalah mereka yang secara ekonomi sudah mapan. Rumah menjadi terang pada malam hari sehingga mereka bisa memanfaatkan mesin ja'ik (mesin jahit) dengan maksimal.

Lampu ini berjasa dalam kehidupan saya. Waktu SD, saya belajar pada malam hari dengan diterangi lampu petromaks atau lampu gas. Aku pernah mengisahkan ini dengan anak di kota, mereka kira ini mitos. Saya akan melantangkan suara untuk bangga bahwa pernah lampu petromaks hadir dan memberi arti dalam kehidupan saya dan keluarga saya. Bagi yang membaca, ini bukan kisah fiktif belaka, seperti yang Anda tonton dalam Drakor (Drama Korea) atau sinetron. Ini kisah diri perihal - "nyanyian kesunyian diri" - bersama secangkir kopi Manggarai.

Ya, petualangan intelektual dan pengetahuan dibantu oleh lampu petromaks. Di antara tumpukan buku, di bawah rumah tua - yang tak hilang katam makna dan cerita indah, saya belajar - belajar - dan belajar. Kala itu, acap kali, mendapatkan minyak tanah serba sulit. Di tengah keadaan ekonomi karut marut, irit adalah solusi terbaik.

Nenek Mais (Nama nenek saya, yang sudah almarhumah, - sudah di kediaman Allah) selalu mengajarkan 'nilai hemat' dalam hidup. Maka, kadang ia menyuruh, "cepat tidur", bukan untuk melarang belajar, tetapi lebih kepada sebuah cara beliau untuk mengatur kehidupan ekonomi. 

Saya bangga menjadi anak kampung. Saya terus lantunkan ini, saya adalah orang miskin. Saya berasal dari keluarga sederhana, yang kadang-kadang, makan jagung pada malam hari diterangi oleh lampu gas adalah suatu sukacita tersendiri bagi saya dan keluarga saya. Saya ingin kembali ke momen-momen seperti itu.

Ketika revolusi 4.0 dilantangkan dunia secara umum dan Indonesia turut meramaikannya. Ingatan saya selalu terarah ke pedalaman NTT, Papua dan Kalimantan. Masih banyak tempat yang belum dialiri arus listrik.

Baru-baru menteri Kom Info membicarakan jaringan 5G. Saya hanya menyayangkan jangankan sudah direvolusi 4.0, masyarakat Manggarai saja masih belum masuk 1.0. Era 1.0 ditandai dengan masuknya aliran listrik.

Di tengah gempuran revolusi 4.0 bahkan sudah 5.0, di beberapa tempat masih atau belum masuk revolusi 1.0. Tragis, bukan? Pengiriman segala sesuatu di jaman sekarang dibutuhkan sarana dan prasarana.

Sebut saja, JNE. Di, Manggarai hanya ada di beberapa tempat Ruteng, Borong dan Labuan Bajo (Ibu Kota Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dab Manggarai Barat). Banyak yang belum mengenal JNE. Dari hasil pengamatan saya, ada beberapa poin yang perlu refleksikan.

Pertama, kebahagiaan datang dari hati. Di tengah keterbatasan, orang kami memiliki cara tersendiri merayakan kebahagiaan. Hanya dengan lampu petromaks, orang bisa berkumpul dan menikmati persaudaraan. Kedua, kebahagiaan turut difasilitasi oleh keadaan dari luar. Sebut saja listrik, akses jalan raya, teknologi dan prasarana dan sarana yang menunjang kehidupan manusia. Bagi masyarakat kampung yang tak bisa menonton TV atau mengetahui informasi, ini merupakan sebuah ketertinggalan.

Apa yang saya ungkapkan di atas merupakan sebuah cara pandang penulis mengungkapkan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Kebahagiaan tak harus dirayakan dalam gegap gempita dan sorak-sorai. Kebahagiaan merupakan ekspresi kesederhanaan dari masyarakat 'kampung'.

Betapa saya bersyukur dan mengucapkan selamat kepada lampu petromaks. Dari kisah saya ini, saya mau merekomendasikan suatu hal, jadilah terang kecil, seperti lampu petromaks, kalau Anda tidak bisa seperti cahaya surya. Atau jadilah penerang seperti cahaya surya, kalau Anda tidak mampu seperti neon yang dialirkan arus listrik.

SELAMAT HARI LAMPU GAS, itu hanyalah nada guyon untuk mengakhiri kisah.
----sampai di sini saja sharing saya tentang lampu gas, bahasa kami orang Weleng, Lamba Leda, Manggarai Timur

KEYWORD: Berbagi, Memberi, Menyantuni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun