Mohon tunggu...
egar pangestu
egar pangestu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM, Ketua Umum Forum Mahasiswa Mataram-Malang

Climbing

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemikiran Politik Islam di Indonesia: Antara Simbolistik dan Substantivisik

4 Juli 2021   18:31 Diperbarui: 4 Juli 2021   18:37 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nuansa politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam ideal era Nabi SAW bukanlah utopia, sebab model itu pernah terbukti dalam sejarah. Jika pada periode Mekah kaum muslimin masih menempati posisi marginal dan senantiasa tertindas, maka pada periode Madinah mereka telah mengalami perubahan yang sangat dramatis: umat Islam menguasai pemerintahan dan bahkan merupakan a self governing community. Di Madinah peran Nabi Muhammad SAW selain sebagai agamawan beliau juga sebagai negarawan. Sejak saat itu oleh pakar politik modern, Islam dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan politik dan sekaligus agama.

Setelah Rasulullah SAW wafat, paradigma politik Islam terus berkembang. Dien Syamsuddin, mengkatagorisasikannya pada tiga paradigma: (1) Agama dan negara tidak bisa dipisahkan (integrated); (2) Agama dan negara berhubungan secara simbiotik; dan (3) Islam tidak mempunyai kaitan apaupun dengan sistem pemerintahan (sekularistik).

Pada bagian lain, Din Samsudin mengungkapkan bahwa dalam proses pencarian konsep tentang negara, para pemikir politik Islam berhadapan dengan dua tantangan yang saling tarik menarik, yaitu: (1) tantangan realitas politik yang harus dijawab; (2) tantangan idealitas agama yang harus dipahami untuk menemukan jawabannya. Namun, sepanjang sejarah yang dilalui hingga kini nampaknya pemikiran politik Islam terus berjalan "Secara Pararel" antara integrated, simbiotik, dan sekularistik. Pemikiran-pemikiran tersebut menampilkan perbedaan mendasar pada aktualisasi keyakinan keagamaan (religious belief) ke dalam aksi politik (political action).

Jika mengamati pandangan para pakar politik Islam di Indonesia, maka paradigma hubungan antara agama dan negara di Indonesia cenderung berkembang di antara pemikiran formalistik dan substantivistik. Kelompok formalisme keagamaan cenderung melakukan politisasi agama, sedangkan kelompok substantivisme keagamaan cenderung melaksanakan substansi agama ke dalam proses politik.

Pergulatan pemikiran politik Islam di atas nampak terutama setelah berakhirnya pemerintahan Demokrasi Terpimpin (pemerintahan yang dipandang oleh kaum muslimin Indonesia lebih dekat dengan Partai Komunis Indonesia), yaitu pada pemerintahan Orde Baru. Munculnya Orde Baru dianggap sebagai kemenangan umat Islam karena mereka ikut andil dalam pembentukannya. Namun, karena pemerintah Orde Baru lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi, maka demi terjaminnya stabilitas sosial rezim ini, pemerintah mengotrol partai politik dengan mencampuri urusan intern partai dan melakukan penyegaran ideologi, puncaknya pada pemberlakuan asas tunggal (Pancasila) terhadap semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

Islam dan Umat Islam Pra Orde Baru

Pembahasan tentang Islam dan umat Islam pra Orde Baru terkait erat dengan gerakan tajdid yang muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20-an yang dikenal sebagai gerakan pemikiran Islam modern di Indonesia. Salah satu ciri khasnya ialah berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Dagang Islam (SDI) berdiri tahun 1909; Syarekat Islam (SI) berdiri tahun 1911; Muhammadiyah berdiri tahun 1912; Persatuan Islam (Persis) berdiri tahun 1923; Nahdatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926, semua Organisasi ini di dirikan di Jawa, sedangkan Tawalib yang berdiri th. 1918 di Sumatera. Proyek garapannya diarahkan pada perjuangan: Pertama, Pembentukan dan penyempurnaan Tauhid; Kedua, Mencapai Kemerdekaan.

Setelah mencapai kemerdekaan Republik Indonesia (1945), perjuangan bangsa Indonesia melalui Era Orde Lama (1945-1966), era ini dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada era ini pemikiran bangsa Indonesia terbagi menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Jika kita mencermati perjuangan umat Islam di era ini, tidak seorang pun yang menafikan bahwa umat Islam memainkan peran yang sangat besar dalam menghancurkan kekuatan Komunis di Indonesia.

Pemikiran Politik Islam Masa Ordde Baru

Secara dialektis, Demokrasi Pancasila adalah sebuah sintesis dari Demokrasi Liberal tahun 1950-an dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang minus demokrasi itu. Namun, karena disintegrasi nasional dan instabilitas politik yang terjadi sepanjang 20 tahun pertama pasca kemerdekaan merupakan trauma politik yang terus menerus menghantui rezim Orde Baru, maka rezim Orde Baru sangat menaruh perhatian terhadapnya. Sedemikian besarnya perhatian ini sehingga Orde Baru tampak sangat represif atau quasi-represif dalam menangani isu-isu di sekitar integrasi nasional dan stabilitas politik. Sehingga pemerintah Orde Baru dalam mengelola konflik politiknya melakukan depolitisasi dan puncaknya memberlakukan politik "Asas Tunggal".

Karena prioritas difokuskan kepada pembangunan ekonomi yang harus ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan nasional, maka pembangunan demokrasi mengalami kelambanan. Dalam kaitan ini, ide politik Islam selama periode Orde Baru harus disampaikan dengan sangat hati-hati. Trauma politik masa lampau dengan pihak ABRI berangsur-angsur hilang, tetapi ide tentang Negara Islam sudah gugur dengan sendirinya dengan ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas orpol dan ormas. Ketika sejumlah tokoh Islam (terutama tokoh Masyumi) dibebaskan dari penjara Soekarno pada tahun l966, muncul suatu kerinduan dan optimisme terhadap partai politik Islam yang besar dan kuat itu. Mantan ketua Masyumi ketika dibubarkan pada tahun l960, Prawoto Mangkusasmito, sangat aktif ingin mewujudkan rehabilitasi Masyumi sebagai Partai politik. Akan tetapi, usaha tersebut mendapat tantangan yang sangat keras dari pelbagai pihak, terutama dari Angkatan Darat, kalangan Kristen/Katolik, dan para tokoh Partai Nasional Indonesia. Bahkan ketika tuntutan umat Islam semakin menguat, pemerintah justru mengambil kebijakan untuk memperkecil ruang gerak politik mereka. Militer kemudian semakin tegas mengklaim kedudukannya sebagai pembela utama UUD 1945 dan Pancasila. Militer juga tidak segan-segan melawan kekuatan yang dipandang hendak menggantikan UUD 1945 dan Pancasila.

Pada masa transisi menuju Orde Baru, hubungan yang mulai membaik antara Angkatan Darat dengan umat Islam sedikit demi sedikit semakin melemah, bahkan dalam perjalanan berikutnya timbul saling mencurigai dan tidak jarang timbulnya konflik. Keberatan pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi mendorong sebagian umat Islam untuk mencari jalan lain untuk menghidupkan partai Islam. Pada tanggal 7 April 1967 Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM) membentuk Kelompok Tujuh untuk merancang pembentukan partai baru menggantikan Masyumi. Maka pada tanggal 5 Februari 1968 pemerintah menyetujui berdirinya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) sebagai gabungan partai Islam, sebagaimana diusulkan BKAM. Namun pemerintah mensyaratkan Parmusi bukanlah Masyumi (mantan pemimpin Masyumi tidak boleh memimpin Parmusi).

Situasi yang terkait dengan karakteristik pemerintahan Orde baru yang dipandang authoritarian dalam membentuk format politik baru terutama dalam masa-masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah mengambil langkah depolitisasi yang dilakukan secara sistematik lewat sejumlah kebijakan termasuk didalamnya adalah: (1) monoloyalitas; (2) kebijakan massa mengambang (floating mass); (3) emaskulasi dari parta[1]partai politik (kasus pengangkatan Mintareja dan Naro bagi Ketua PARMUSI); dan (4) pemilihan umum yang sama sekali tidak kompetitif. Kebijakan tersebut menjadikan Islam sebagai target sasaran yang besar sekali, dan memancing reaksi umat Islam.

Pemikiran di atas, memberikan corak Islam di Indonesia beberapa dekade terakhir, sejak Orde Baru hingga sekarang, tampak berubah-ubah. Jika indikasi politik yang digunakan, maka proses pergeseran (politis) dalam hubungan antara Islam dan negara dapat diamati dengan jelas. Periode ini dimulai dengan hubungan yang baik antara umat Islam dan ABRI (TNI dan Polri) sebagai penopang utama kekuatan Orde Baru hingga kemudian posisi politik umat dipinggirkan. Namun, gabungan keterpaksaan mengikuti alur politik yang diterapkan Orde Baru membatasi jumlah dan peranan partai politik dan mengubah ideologi politik dan reaksi intelektual yang memadai dari kaum muslim sendiri telah mengubah hubungan umat Islam dengan negara.

Namun dalam hal paradigma simbolis dan paradigma substansialis dalam pemikiran politik Islam di Indonesia yang bersifat paralel hingga kini masih terus berlanjut. Oleh karena itu, bagaimana mencari bentuk artikulasi kepentingan Islam yang tepat dalam rangka meningkatkan tujuan perpolitikan Islam masih tetap menjadi PR Umat Islam. Dalam hal ini bagaimana representasi Islam secara wajar dan proporsional sesuai dengan potensi Islam sehingga tidak menimbulkan reaksi yang negatif baik dari kalangan internal Islam sendiri maupun yang berasal dari kalangan non[1]Islam, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan politik Islam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun