Pada masa transisi menuju Orde Baru, hubungan yang mulai membaik antara Angkatan Darat dengan umat Islam sedikit demi sedikit semakin melemah, bahkan dalam perjalanan berikutnya timbul saling mencurigai dan tidak jarang timbulnya konflik. Keberatan pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi mendorong sebagian umat Islam untuk mencari jalan lain untuk menghidupkan partai Islam. Pada tanggal 7 April 1967 Badan Koordinasi Amal Muslim (BKAM) membentuk Kelompok Tujuh untuk merancang pembentukan partai baru menggantikan Masyumi. Maka pada tanggal 5 Februari 1968 pemerintah menyetujui berdirinya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) sebagai gabungan partai Islam, sebagaimana diusulkan BKAM. Namun pemerintah mensyaratkan Parmusi bukanlah Masyumi (mantan pemimpin Masyumi tidak boleh memimpin Parmusi).
Situasi yang terkait dengan karakteristik pemerintahan Orde baru yang dipandang authoritarian dalam membentuk format politik baru terutama dalam masa-masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah mengambil langkah depolitisasi yang dilakukan secara sistematik lewat sejumlah kebijakan termasuk didalamnya adalah: (1) monoloyalitas; (2) kebijakan massa mengambang (floating mass); (3) emaskulasi dari parta[1]partai politik (kasus pengangkatan Mintareja dan Naro bagi Ketua PARMUSI); dan (4) pemilihan umum yang sama sekali tidak kompetitif. Kebijakan tersebut menjadikan Islam sebagai target sasaran yang besar sekali, dan memancing reaksi umat Islam.
Pemikiran di atas, memberikan corak Islam di Indonesia beberapa dekade terakhir, sejak Orde Baru hingga sekarang, tampak berubah-ubah. Jika indikasi politik yang digunakan, maka proses pergeseran (politis) dalam hubungan antara Islam dan negara dapat diamati dengan jelas. Periode ini dimulai dengan hubungan yang baik antara umat Islam dan ABRI (TNI dan Polri) sebagai penopang utama kekuatan Orde Baru hingga kemudian posisi politik umat dipinggirkan. Namun, gabungan keterpaksaan mengikuti alur politik yang diterapkan Orde Baru membatasi jumlah dan peranan partai politik dan mengubah ideologi politik dan reaksi intelektual yang memadai dari kaum muslim sendiri telah mengubah hubungan umat Islam dengan negara.
Namun dalam hal paradigma simbolis dan paradigma substansialis dalam pemikiran politik Islam di Indonesia yang bersifat paralel hingga kini masih terus berlanjut. Oleh karena itu, bagaimana mencari bentuk artikulasi kepentingan Islam yang tepat dalam rangka meningkatkan tujuan perpolitikan Islam masih tetap menjadi PR Umat Islam. Dalam hal ini bagaimana representasi Islam secara wajar dan proporsional sesuai dengan potensi Islam sehingga tidak menimbulkan reaksi yang negatif baik dari kalangan internal Islam sendiri maupun yang berasal dari kalangan non[1]Islam, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan politik Islam itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H