Mohon tunggu...
Ega Kenanga
Ega Kenanga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan Mahasiswa dari Universitas Negeri Malang yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis program studi Ekonomi Pembangunan. Saya suka menulis baik artikel atau cerita fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetaraan Gender: Bukan Gendernya yang Salah tapi Pola Pikirnya

22 Juni 2023   20:35 Diperbarui: 22 Juni 2023   20:38 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus kekerasan seksual di kemenkop UKM yang terjadi pada 2019 lalu, menjadi salah satu bukti diskriminasi terhadap perempuan. Kasus yang sudah terjadi empat tahun silam ini, masih belum menemukan titik terang. Yang membuat Bank Dunia berpendapa bahwa hukum Indonesia masih diskriminasi terhadap perempuan, yang mana salah satu indikator bank dunia adalah perlindungan di tempat kerja. 

Keterlibatan perempuan bukan hanya sebatas sebagai seorang ibu rumah tangga, namun lebih dari itu. Seorang perempuan memiliki andil besar dalam kemajuan dunia ini. Berdasarkan data yang didapatkan dari CNN Indonesia, 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa "Potensi perempuan terutama di bidang ekonomi dan pasar tenaga kerja sebesar US$28 triliun atau 26 persen dari PDB dunia pada 2025. Ini keuntungan yang sangat jelas,". Seharusnya, dengan pernyataan yang diberikan oleh Menteri Keuangan Indonesia ini, kita dapat menangkap bahwa se- fundamental itu peran perempuan dalam kehidupan ini. 

Lalu, bagaimana perempuan dapat berpartisipasi dalam meningkatkan negara, jika hukum negara masih membatasi perempuan dan mendeskriminasi perempuan?.

Tidak hanya itu, pemikiran yang masih kolot seolah-olah menjadi 'tali' yang menahan perempuan indonesia untuk terus maju. Banyak larangan-larangan yang harus diikuti perempuan Indonesia, yang mana larangan tersebutseakan-akan menahan perempuan untuk meningkatkan value dirinya. 

Predikat 'perempuan' seolah-olah menjadi alasa ketimpangan gender masih terus ada. Keterbukaan pemikiran dalam hal kesetaraan gender serta kebebasan yang dimiliki oleh perempuan menjadi tujuan khusus serta urgency penulis mengangkat tema ini. Karena bukan hanya laki-laki yang bisa mendapatkan hidup layak, perempuan juga berhak atas apa yang menjadi pilihannya. 

Di era modern ini ternyata masih banyak orang yang salah mengartikan bahwa gender dan seks merupakan dua hal yang sama. Gender memiliki definisi yang berbeda dengan seks. Lapuan atau yang biasa dikenal dengan gender, merupakan keadaan yang diterima secara biologis, gender juga merupakan peran, perilaku, ekspresi, dan identitas yang ada pada laki-laki atau perempuan (dp3appkb.bantulkab.go.id, 2022). 

Sedangkan jenis kelamin atau seks adalah karakter dasar fisik dan fungsi manusia, mulai dari kromosom, kadar hormon, dan bentuk organ reproduksi (dp3appkb.bantulkab.go.id, 2022). Keadaan biologis yang menempel pada perempuan seharusnya bukan suatu hal yang harus disalahkan atas kesenjangan gender yang terjadi. 

Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama, yang mana ini sesuai dengan maksud dari kesetaraan gender yang mengatakan bahwa, kesetaraan gender (Gender Equility) merupakan konsep dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Triguswini & Setiawan, 2021). 

Dalam praktiknya, pengertian kesetaraan gender masih banyak disalah artikan oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat mengambil esensi dari kesetaraan gender itu sendiri. Yang mana tanpa kita sadari sebenarnya, banyak hal positif yang bisa kita rasakan bersama apabila kesetaraan gender itu ter-realisasikan.

Dari pengalaman yang dimiliki seseorang baik positif dan negatif lah yang akan menjadi acuan utama seseorang untuk bertindak, atau biasa kita sebut sebagai pola pikir. Mindset atau pola pikir merupakan sekumpulan kepercayaan atau cara berpikir dalam menilai, memproses, menganalisis dan membuat kesimpulan terhadap sesuatu berdasarkan sudut pandang tertentu yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang (Riadi Muchlisin, 2022). 

Tidak hanya dari pengalaman, pola pikir seseorang juga dapat terbentuk dari kebiasaan keluarga, didikan sejak kecil, budaya, cara hidup orang-orang di sekitar, masukan dari buku yang dibaca, konten yang jadi konsumsi setiap hari, pendidikan, dan masih banyak lagi (Maulani Gilang, 2021). Dari pola pikir individu lah yang jika dilakukan secara konsisten akan membentuk budaya baru di lingkungan. Pola pikir yang negatif akan memunculkan gerakan patriarki. Patriarki sendiri merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial (Teniwut Meilani, 2022). 

Timbulnya patriarki membuat perempuan sulit untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya dan membuat eksistensi perempuan seolah diacuhkan. 

R.A Kartini menjadi salah satu pahlawan yang berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, yang pada kenyataannya sampai sekarang masih banyak ketimpangan gender, itu menandakan bahwa perjuangan yang selama ini dilakukan oleh R.A Kartini belum sepenuhnya berhasil. 

Setiap perempuan berhak untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi kemampuan yang ada dalam dirinya. Namun, belenggu budaya lah yang seolah menahan perempuan untuk terus maju. Pemikiran bahwa seorang perempuan akan berakhir menjadi seorang ibu rumah tangga menjadi alasan banyak perempuan Indonesia tidak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Stigma buruk terhadap perempuan yang bersekolah tinggi juga menjadi salah satu akar permasalahannya. Perempuan yang bersekolah tinggi dianggap terlalu mandiri sehingga membuatnya sulit mendapatkan jodoh, lantaran laki-laki akan merasa minder jika disandingkan dengan perempuan ber-intelektual tinggi. 

Perempuan seolah berada pada masyarakat kelas dua, sehingga eksistensinya tidak terlihat di masyarakat. Jika kita telaah lebih lanjut, seorang perempuan yang memiliki intelektual tinggi tentunya dapat membantu meningkatkan perekonomian keluarga atau bahkan negara. 

Seperti kutipan yang di ucapkan oleh Menteri Keuangan Indonesia bahwa perempuan memiliki andil besar dalam membantu meningkatkan perekonomian melalui pasar tenaga kerja. Bayangkan saja, jika perempuan diberi kesempatan yang sama untuk meningkatkan potensi dirinya maka itu akan menambahkan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing di dunia pekerjaan. Dimana hal ini dapat membantu meningkatkan perekonomian Indonesia baik melalui bisnis-bisnis baru atau melalui kontribusi perempuan sebagai pekerja.

Banyak aksi-aksi demontrasi yang bertujuan membela hak perempuan, namun tidak sedikit juga aksi-aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Nyatanya, aksi demontrasi yang dilakukan oleh masyarakat hanya dianggap 'rengekan seorang bayi' oleh pemerintah. Lantas apa yang harus kita lakukan untuk memperjuangkan hak perempuan-perempuan Indonesia?.

Kita sebagai perempuan harus lebih berani dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita sebagai perempuan tidak boleh sekalipun putus semangat dalam mengejar cita-cita. Tuntutan orang tua yang seolah tidak mengikhlaskan anak perempuannya bersekolah tinggi dengan mengatas namakan agama seolah menjadi pagar penghalang perempuan untuk mengejar cita-citanya. Bukankah tuhan menyukai orang-orang yang berpikir cerdas?

Lagipula tidak ada larangan dalam agama manapun, yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak boleh bersekolah tinggi. Perempuan perlu lebih berani dalam menentukan jalan hidupnya, jangan lagi terpaku pada budaya. Bukan berarti harus melupakan budaya di tanah kelahiran, namun perempuan harus mampu memilah budaya mana yang harus di ikutinya. Serta perlunya peningkatan kesadaran atas hak kesetaraan gender bagi calon pekerja perempuan, dapat berupa seminar-seminar yang mengangkat tema kesetaraan gender.

Last but not least,  kesetaraan gender merupakan permasalahan global yang harus kita tangani secara global pula. Perjuangan perempuan Indonesia tidak boleh terhenti pada perjuangan R.A Kartini saja. Kesenjangan gender masih terus terjadi, diskriminasi pada perempun juga masih terus terjadi, itu menjadi tanda kita sebagai perempuan zaman ini untukterus menumbuhkan kartini-kartini muda dalam diri kita demi memperjuangkan hak perempuan. Predikat 'perempuan' bukan menjadi sumber masalah melainkan pada pola pikir masyarakat lah yang masih tertahan dalam budaya yang kolot. Jika demontrasi tidak mampu membantu perempuan menyuarakan haknya bukan berarti perempuan harus menyerah.

Melainkan perempuan harus terus maju sampai hak-hak tersebut didapatkan. Jadilah ibu yang berpikir kritis, sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis lainnya kelak. 

"Sampai kapanpun, kemajuan perempuan itu ternyata menjadi faktor penting dalam

peradaban bangsa" ~R.A. Kartini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun