Mohon tunggu...
Ega Jalaludin
Ega Jalaludin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sa-Dos Sa-Sen Sa-Wasta

16 Agustus 2015   02:44 Diperbarui: 16 Agustus 2015   16:57 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun, idealitas diatas tidak tercermin dalam pelaksanaannya. Realitas yang ada malah hanya mempertegas seberapa kecil penghargaan pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi swasta terhadap dosen dan profesionalitas yang dilekatkan padanya. Padahal dalam stigma yang berkembang dosen adalah sebuah profesi yang tidak bisa digeluti setiap orang karena membutuhkan mental, fisik dan kemauan untuk terus belajar dan menggali pengetahuan.

Didalam UUGD tersebut dijelaskan juga bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 45). Dalam pasal selanjutnya (pasal 46) tercantum bahwa kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Serta setiap dosen memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana.

Kuliah Pasca Sarjana yang dimaksudkan dalam UU tersebut adalah bentuk syarat Generalisir bagi siapapun yang ingin mendalami Profesi ini, dimana setiap dosen harus memiliki minimal ijazah Strata-2. Namun, lagi-lagi, ironisnya pada kenyataan lain biaya kuliah untuk Strata-2 dan Strata-3 sangat tinggi, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menggeluti profesi ini sangatlah besar belum lagi dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak bisa dibilang main-main.

Uraian diatas menegaskan idealitas UUGD, tetapi tidak disambut oleh goodwill pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional dan Kemenrisdikti dalam memberikan fasilitasi, akses dan ruang yang terbuka dan murah untuk menempuh jenjang pasca. Kita bisa bandingkan dengan Departement Ketenagakerjaan dimana setiap kebijakan yang lahir dari UU tentang ketenagakerjaan dan atau Peraturan Menteri Ketenagakerjaan semua selalu disosialisasikan dan di implementasikan ke bawah dengan sangat solid, sehingga buruh pabrik (karyawan tetap) selalu merasakan kemanjaan yang diamanatkan dalam kebijakan. Padahal, UUGD sudah lahir lebih dari satu dekade.

Kemudian, mengenai beban kerja yang merupakan konsekuensi dari profesinya, UUGD juga mengatur bahwa dalam profesinya dosen dituntut melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan rincian beban kerja pengajaran paling sedikit sepadan dengan 12 (dua belas) SKS dan paling banyak 16 (enam belas) SKS pada setiap semester, beban kerja pendidikan dan penelitian paling sedikit sepadan dengan 9 (sembilan) SKS yang dilaksanakan di perguruan tinggi yang bersangkutan; dan beban kerja pengabdian kepada masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan inggi yang bersangkutan atau melalui lembaga lain. Ironisnya, bagaimana seorang dosen bisa mengajar dengan efektif dan menyiapkan satuan acara pengajara dengan baik, meneliti dan mengabdi pada masyarakat sekaligus apabila kemampuan fisik dan financial terbatas bahkan terbukti dibatasi.[3]

 

Dengan beban kerja seberat itu profesi ini menjadi profesi yang sangat membutuhkan dukungan fisik, financial dan fasilitas yang memadai dan tidak main-main. Profesi ini membutuhkan idealism dan kesungguhan dan rasanya akan lebih bijaksana profesi ini tidak diposisikan sebagai profesi sampingan, mengingat bahwa pendidikan adalah salah satu unsur pembangunan bangsa yang paling besar. Jika kita bermain-main dalam profesi ini maka kita hanya akan mencetak generasi main-main. Bukankah kita tidak ingin bangsa ini menjadi bangsa main-main??..

 

Dukungan fisik, financial dan fasilitas menjadi persoalan yang belum terselesaikan sampai hari ini. Sudah 1 dekade kebijakan UUGD berlaku, niat baik pemerintah belum terlihat dari aspek manapun, baik itu fisik, fasilitas apalagi financial sehingga kemudian menjadi preseden tidak baik dan digunakan sebagai “pembenaran perlakuan” lembaga pendidikan tinggi swasta yang ada untuk juga tidak konsen terhadap aspek ini. Masih terdapat kesenjangan antara dosen yang statusnya Pegawai Negeri Sipil dengan dosen yang mengabdi di sektor swasta, masih ada kesenjangan pendapatan dan fasilitasi yang diterima, padahal ketika UUGD mengamanatkan hal tersebut anggaran dari APBN sudah dialokasikan. Pun beban kerja yang dilekatkan sama. Bukankah seharusnya semua memiliki derajat dan perlakuan yang sama dimata hukum dengan tidak terkecuali?.

 

UUGD mengamanatkan bahwa profesionalitas dosen harus dihargai dengan tunjangan dan maslahat tambahan[4], akan tetapi masih banyak dosen sector swasta yang dihargai profesionalitasnya dibawah kebutuhan hidup layak (KHL), dosen di sebagian tempat masih diperlakukan layaknya buruh pabrik outsourcing dengan beban kerja 40 jam seminggu, padahal dosen harus meneliti, mengembangkan pengabdian sosial kemasyarakatannya bahkan sebagai manusia biasa dosen juga butuh waktu untuk keluarga. Bukankah hal ini sangat tidak manusiawi, bukankah hal seperti ini layaknya perlakuan industri kapitalis terhadap pekerja outsourcing yang sering dosen kritisi dan sampaikan di kelas-kelas, lalu sebenarnya kita ini apa? Dosen sebagai pekerja outsourcing atau Dosen Sebagai Profesi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun