Seorang anak menangis lalu menjatuhkan dirinya ke lantai.
Entah apa yang diinginkannya, tapi ia berteriak dan berkali-kali menghentakkan kaki sambil menatap gurunya.
"Kamu memanggilku? Kamu ingin bantuanku?"Â kata gurunya sambil menunjukkan sejumlah kartu.
Anak itu tidak mengangguk, tapi tangannya berusaha meraih salah satu kartu itu.
Dalam keterbatasan, mereka berusaha berkomunikasi satu sama lain.
Peristiwa itu bukan bagian adegan film, tapi sedikit pengalaman yang saya observasi ketika mengunjungi The Milestone School, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) di wilayah Gloucester, UK.Â
Kunjungan ini adalah bagian dari kegiatan akademik prodi PGPAUD dan PGSD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang didanai British Council atas kerjasama transnational antara Indonesia dan United Kingdom.Â
Di sana, selama 9 hari kami menuntaskan sebagian program belajar yang fokus pada materi tentang Pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Pendidikan inklusi di University of Gloucestershire. Tulisan ini adalah hasil refleksi dari perjalanan itu.
United Kingdom secara historis dikenal memiliki penekanan yang kuat pada bidang pendidikan di semua level, termasuk pendidikan anak usia dini dan Sekolah Dasar (SD).Â
Melalui Early Years Foundation Stage (EYFS), pemerintah Inggris menyediakan standar mutu untuk perkembangan, pembelajaran, dan pengasuhan anak dari usia 0 sampai 5 tahun.Â
Sistem Pendidikan di Inggris telah mengalami transformasi dari tahun ke tahun untuk memastikan setiap peserta didiknya mendapatkan akses ke pendidikan setinggi mungkin.Â
Populasi di Inggris juga memiliki keberagaman etnis cukup besar (OECD reports, 2019) sehingga upaya pemerintah untuk memberikan akses yang sama bagi semua anak juga dipengaruhi oleh konteks sosial-budaya yang kuat.Â
Saya mencatat beberapa hal yang memiliki praktik baik (best practice) cukup menonjol dalam sistem pendidikan di Inggris.
Identifikasi sangat dini pada kebutuhan khusus anak.
Pemerintah UK mencatat adanya 4 dari 10 anak di Inggris yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini kemudian direspons dengan berbagai upaya spesifik untuk mengidentifikasi adanya gangguan perkembangan dan kebutuhan khusus anak dalam belajar sedini mungkin.Â
Dengan melakukan identifikasi sangat dini, pendidik bisa menyediakan bantuan yang dibutuhkan guna  memastikan setiap anak mencapai potensi maksimalnya.Â
Proses identifikasi sampai pembelajaran ini ini melibatkan peran aktif guru, asisten guru, SENCo (koordinator layanan ABK), tenaga professional, pihak eksternal lainnya dan orangtua.Â
Kerjasama sinergis antara berbagai pihak ini pada akhirnya bisa mewujudkan pembelajaran berbasis individu yang khas untuk masing-masing anak.Â
Selain itu, dukungan pemerintah pada ABK juga diturunkan dalam regulasi The Special Educational Needs and Disability (SEND) Code of Practice yang menyediakan panduan spesifik dalam identifikasi dan mengatasi berbagai kebutuhan khusus anak
Pembelajaran berpusat pada anak.
Konsep child-centered learning mungkin bukan hal baru di Indonesia, namun pada prakteknya kita masih perlu belajar menterjemahkan konsep itu khususnya di level pendidikan awal dan dasar yang masih banyak membutuhkan peran guru.Â
Di UK, model pembelajaran ini difasilitasi oleh pendekatan pedagogik yang khas seperti project-based learning dan inquiry-based learning.Â
Selain itu penggunaan perangkat dan sumber belajar digital juga memungkinkan fleksibilitas dan penyesuaian sehingga pembelajaran dapat disesuaikan minat anak. Pada salah satu kelas PAUD yang kami kunjungi, tidak tampak ada alur pembelajaran yang sangat terstruktur.Â
Guru memiliki perencanaan berupa alternatif kegiatan yang mereka gunakan sebagai pilihan aktivitas sehari-hari, namun pada praktiknya anak-anaklah yang berperan menentukan aktivitasnya sendiri. Ruangan kelas juga didesain untuk memudahkan mobilitas anak berpindah aktivitas dari dalam ruangan ke area luar.Â
Praktik ini cukup berbeda dengan di Indonesia dimana guru harus menyusun rencana pembelajaran yang secara rigid memasukkan unsur-unsur HOTS (high order thinking skills), STEAM (science, technology, art, mathematics), hingga TPACK (technology, pedagogy, content, knowledge).Â
Perlindungan atas keamanan dan hak anak.
Semua institusi pendidikan di Inggris memiliki kewajiban untuk memastikan kesejahteraan dan keamanan setiap anak terjaga dengan baik.Â
Hal ini dipastikan melalui serangkaian pengukuran, seperti kebijakan dan prosedur safeguarding yang diperbarui dan di-review dari waktu ke waktu, pendampingan kepada staff sekolah berupa pelatihan dalam mengenali dan melaporkan issue-issue keamanan, dan adanya pengawas yang bertugas memastikan perlindungan anak berjalan sesuai aturan.
Selain itu sekolah juga memiliki prinsip dasar bahwa setiap anak harus diperlakukan dengan penuh penghargaaan, akses yang layak ke pendidikan, dan bahwa suara mereka didengar untuk keputusan yang berpengaruh pada diri mereka.Â
Hal ini dibuktikan salah satunya pada beragam produk (buku, karya seni) yang diproduksi secara serius dari tangan anak-anak sebagai suar untuk menyuarakan issue-issue terkini seperti perubahan iklim, anti-diskriminasi, dan lingkungan berkelanjutan (sustainability environment)
Fokus pada perkembangan bahasa.Â
Strategi pendidikan di UK sangat menekankan pentingnya perkembangan bahasa. Anak dari umur 0 hingga 5 tahun akan mendapat program pendidikan terintegrasi yang menstimulasi aspek bahasa.Â
Anak didorong untuk bertanya, bermain sosial, membaca buku, menyanyikan lagu, membuat cerita dalam ruang yang aman untuk mereka menggunakan imajinasinya. Pendekatan ini memungkinkan anak mengembangkan bahasa, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi sejak dini.Â
Peristiwa di awal tulisan ini merupakan satu contoh dimana guru menggunakan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk berkomunikasi dengan anak. Guru menggunakan berbagai media visual dan menjalankan pola komunikasi empatik yang didasarkan pada pemahaman bahwa semua anak, bahkan dalam perilaku 'buruknya' sekalipun, sebenarnya hanya berusaha untuk berkomunikasi.Â
Pada ABK yang memiliki keterbatasan bahasa, sekolah tetap berperan memfasilitasi  aspek perkembangan ini semaksimal mungkin. Buku-buku amat mudah ditemukan di semua sudut sekolah, guru menguasai bahasa isyarat, dinding sekolah dipenuhi petunjuk visual, hingga sikap guru yang memberi perhatian penuh pada setiap interaksinya dengan anak.Â
Contoh lain yang saya temui, di salah satu nursery (tempat penitipan anak), sudut  membaca didesain senyaman mungkin sehingga anak bisa kapan saja datang kesana dan menggunakannya sebagai 'ruang aman'. Alih-alih dilengkapi bangku-bangku kaku dan buku yang sulit diraih, area membaca ini justru  dilengkapi dengan bantal, selimut, boneka sehingga anak nyaman berada disana.
Selain itu, pendidik di UK juga menaruh perhatian khusus pada anak-anak yang tidak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utamanya. Hal ini dibentuk kondisi sosial-budaya dimana Inggris Raya memiliki populasi imigran yang cukup besar, serta menjadi rumah bagi beragam etnis minoritas dari berbagai negara.Â
Anak-anak ini dianggap memiliki kebutuhan tambahan (additional needs) sehingga sekolah juga wajib menyediakan dukungan belajar, salah satunya melalui program English as an Additional Language (EAL).
Keterlibatan aktif orangtua dan komunitas.Â
Salah satu pilar utama dari sistem pendidikan dasar dan inklusi di UK adalah keterlibatan aktif dari orangtua dan komunitas melalui berbagai bentuk. Ini meliputi komunikasi intensif antara guru dan sekolah, penyediaan informasi yang detail tentang perkembangan anak dan dapat diakses kapan saja (real time), dan pelibatan orangtua dalam pengambilan keputusan.Â
Hubungan sinergis ini terbentuk karena orangtua menghormati guru sebagai orang yang ahli di bidangnya, dan sebaliknya guru juga memiliki keyakinan bahwa orangtua adalah sumber informasi terbaik jika menyangkut perkembangan anak.Â
Adanya budaya mutual respect (saling menghormati) ini memungkinkan guru dan sekolah menjalin hubungan kemitraan yang erat alih-alih sekedar sebagai penyedia layanan pendidikan dan penggunanya.
Dukungan komunitas juga menjadi pilar kekuatan yang dipelihara sangat baik di UK. Beberapa aktivitas yang melibatkan komunitas di antaranya: asosiasi orangtua, kegiatan sukarela (volunteering), penggalangan dana (fundraising), dan berbagai program mentoring.Â
Lingkup kerjanya pun tidak sebatas pada urusan sekolah, namun mereka juga berperan memberikan advokasi pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak pada anak.Â
Di Milestone schools, komunitas masyarakat memberikan sumbangan yang signifikan sehingga sekolah itu berkembang sangat progresif di areanya.Â
Berbagai fasilitas yang ada di sekolah tersebut seperti kantin, kolam renang, area gymnastic anak dibangun dari dukungan komunitas, dikelola oleh komunitas, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat bahkan yang anak-anaknya bukan murid di sekolah tersebut.
Beberapa aspek tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pendekatan child-centered sudah lama menjadi dasar pelaksanaan pembelajaran di kelas, konsep pembelajaran berdiferensiasi yang dinaungi oleh Kurikulum Merdeka juga selaras dengan tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan minat setiap peserta didik.Â
Namun tantangan yang masih harus dihadapi institusi pendidikan di Indonesia adalah menyediakan instruksi kemampuan eksplisit agar pendidik dapat menterjemahkan konsep-konsep itu secara kontekstual di lingkungan kerjanya. Ini meliputi kemampuan analisis, problem solving, menyusun alternatif, hingga mengevaluasi sebagai dasar upaya tindak lanjut.Â
Semoga sedikit catatan ini dapat menjadi inspirasi dan katalisator pada upaya yang lebih holistik dari berbagai pihak untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.Â
Ega Asnatasia Maharani - Psikolog, Dosen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H