Jika Anda melakukan pencarian di google dengan keyword "kekerasan / bullying, gender" ada cukup banyak temuan yang mengagetkan. Perempuan bukan hanya rentan menjadi korban, namun juga pelaku kekerasan terhadap sesamanya. Bentuknya cenderung tidak langsung (indirect aggression) seperti menyebarkan gosip, mengucilkan atau merendahkan orag lain, sabotase, dan cyber-bullying. Berbeda dengan laki-laki yang bentuk agresinya lebih bersifat terbuka seperti mengejek, memukul, mengancam (Hess & Hagen, 2006).Â
Data dari US National Center for Education Statistic 2019 menunjukkan dalam kasus bullying, perempuan lebih tinggi dalam perilaku menyebarkan rumor dan mengucilkan orang lain.
Statistik di Indonesia belum mencatat dengan jelas proporsi kasus bullying berbasis gender, namun tidak sulit menelusur di berbagai media massa banyaknya contoh kasus yang melibatkan perempuan sebagai pelaku kekerasan. Tingginya angka kekerasan perempuan terhadap sesamanya ini seolah berbanding terbalik dengan kampanye 'women empowerment' atau  'women supporting women' yang cukup meriah 1 dekade terakhir ini.
Apakah kita sudah mengajarkan anak-anak perempuan tentang manajemen konflik yang sehat?
Apakah fakta ini menunjukkan gerakan kemajuan perempuan di sisi lain mengeskalasi kekerasan terhadap perempuan juga?
Pola Sosialisasi
Indirect aggression secara umum menjadi strategi perempuan ketika berkonflik karena ada keuntungan berlindung di balik anonimitas. Menjaga citra diri sesuai konstruksi sosial itu penting, mengingat banyak aturan bagaimana perempuan 'seharusnya' bersikap memang dibangun atas nilai-nilai patriarki.
Itu sebabnya di kontes putri-putrian manapun, perempuan diharapkan menjadi figur penjaga kedamaian. Konstruksi ini menghalangi perempuan secara terbuka menyampaikan pendapat berbeda yang beresiko memunculkan konflik dan melemahkan posisinya.
Pola sosialisasi yang bias gender memiliki peranan penting di sini. Anak perempuan dan laki-laki sejak kecil belajar melalui aturan sosial yang berbeda.Â
Penting dicatat bahwa melalui bermainlah seorang anak belajar cara memahami lingkungan, termasuk bagaimana bertahan hidup di dunianya. Anak laki-laki secara berkelompok terbiasa bermain dalam konteks 'games' dimana ada aturan yang jelas untuk tiap permainan, dan mencari pemenang adalah tujuan permainan itu.Â
Melalui aturan yang kompetitif ini semua hal diatur dalam hierarki. Misalnya dalam pertandingan basket ada kapten tim, pemain shooting guard, point guard, hingga pemain cadangan. Semua orang harus paham fungsi dan tugasnya dalam hierarki itu sehinga anak laki-laki menjadi terbiasa melihat ada anak lain yang lebih 'tinggi' posisinya.
Sebaliknya anak perempuan terbiasa bermain dalam format 'play' dimana tidak ada tujuan, aturan, dan strategi yang jelas dalam permainan itu. Misalnya bermain pasar-pasaran, anak perempuan akan mengambil perannya masing-masing dan belajar membangun keakraban di sana. Mereka bahkan bersedia mengulang-ulang peran yang sama di hari berbeda. Tidak ada menang-kalah ataupun kompetisi karena selalu ada opsi untuk saling membantu.Â
Ketiadaan hierarki dalam pola sosialisasi ini membuat anak perempuan tumbuh dalam pemahaman bahwa kekuasaan di antara sesama perempuan harus ada dalam posisi setara. Adanya kritikan atau kehadiran perempuan lain yang lebih kompetitif akan cenderung ditolak karena tidak sesuai dengan pembagian kuasa yang 'ideal' di antara mereka.Â
Di masa dewasanya, ini menyebabkan perempuan cenderung lebih mudah melihat sesamanya sebagai 'musuh' dibanding lawan jenis. Ellemers (2014) dalam artikel ilmiahnya Women at work: How Organizational Features Impact Career Development menuliskan adanya fenomena persaingan tidak sehat antar sesama rekan kerja (women rivalry) di dalam dunia organisasi yang sulit dipatahkan.
"Ketiadaan hierarki dalam pola sosialisasi ini membuat anak perempuan tumbuh dalam pemahaman bahwa kekuasaan di antara sesama perempuan harus ada dalam posisi setara"
Konsep sosialisasi yang berbeda tersebut juga menyebabkan perbedaan cara perempuan dan laki-laki memandang konflik. Bagi anak laki-laki, konflik yang agresif melatih mereka cara bertahan untuk menang.Â
Perkelahian fisik pun kadang dipilih untuk menunjukkan posisinya (gain power) dalam hierarki sosial. Jika ia menang secara terbuka dalam pertarungan itu, maka statusnya akan semakin naik.Â
Tidak heran jika kemudian banyak Ayah yang menyarankan anak laki-lakinya untuk memukul balik jika diserang oleh temannya. Respon ini besar kemungkinan dipicu oleh nilai yang tertanam di benak Ayah bahwa kemenangan harus diraih secara terbuka.
Sementara pada anak perempuan dimana status sosial seharusnya lebih bernilai setara, menunjukkan agresi secara terang-terangan justru akan merugikan. Serangan agresi secara langsung bisa berdampak buruk sebab target bisa langsung menyerangnya balik.Â
Indirect aggression menjadi pilihan yang lebih aman untuk menyatakan kemarahan, sebab secara perhitungan rasio efek/bahaya perilaku agresi tersebut lebih memiliki resiko minimum dengan efek maksimum pada targetnya. Tujuan indirect aggression ini bukan untuk menunjukkan kekuasaan, tapi mengembalikan hierarki ke dalam posisi setara. Maka mau tak mau, ia mesti berlindung di balik anonimitas demi keselamatannya sendiri.
Status Psikologis
Dalam perspektif psikologi, individu yang cenderung memilih indirect aggression sebagai cara merespons konflik termasuk memiliki pola pasif-agresif. Di dalamnya termasuk berbagai perilaku yang bertujuan menyerang orang lain tanpa menunjukkan kemarahan dan frustasi yang sebenarnya.Â
Contoh perilakunya antara lain: menggunakan silent treatment, menyangkal atau menekan perasaan, selalu menganggap dirinya korban agar bisa menyalahkan orang lain, manipulatif dan ingin mengontrol berlebihan.
Pada level jangka panjang dalam sebuah hubungan, pola pasif-agresif ini tidak kurang berbahayanya dibanding agresi langsung. Hubungan menjadi lemah secara fungsi sebab pihak-pihak di dalamnya tidak tumbuh dalam konflik yang konstruktif.
Skema sosial yang lebih luat telah mencatat, konflik dengan sesama perempuan sebenarnya menghambat kemajuan gerakan perempuan itu sendiri. Budaya mom-shaming, women rivalry, bergosip, cyber bullying pada akhirnya tidak lebih dari upaya kita menyabotase perempuan lain alih-alih bentuk menunjukkan kepedulian.
Perempuan mestinya memiliki kesadaran bahwa ada banyak cara untuk mendialogkan konflik, bahwa kritik bisa diberikan dan diterima secara sehat, bahwa keberadaan perempuan-perempuan hebat lain di luar sana  bukan berarti kita kehilangan makna diri sebagai perempuan hebat juga.
Pola sosialisasi yang bias gender juga mesti berubah. Anak perempuan boleh bermain secara kompetitif, begitupun anak laki-laki boleh bermain dalam rangka menjalin keakraban.
Ketika di dalamnya timbul konflik, baik anak perempuan maupun laki-laki perlu dilatih untuk mengenali emosinya, melihat alternatif pemecahannya, menyampaikan pendapatnya secara asertif, lalu menerima kemungkinan adanya kebenaran versi orang lain.
Di dalam dunia modern yang meminta anak-anak mempelajari 4 C's soft skills (communication, collaborative, critical thinking, creativity)Â ada baiknya kita juga mendorong mereka mempelajari C berikutnya yaitu conflict management.
Apalagi sebagai negara dengan kasus bullying kelima tertinggi di dunia, kemampuan ini mutlak dipelajari sejak dini. Anak-anak perlu belajar bahwa sejatinya kedamaian hadir bukan ketika kita mampu menekan masalah, namun dari kemampuan mengatasi konflik melalui cara-cara damai.
Reference:
Ellemers, N., (2014). Women at Work: How Organizational Features Impact Career Development. Behavioral and Brain Sciences, 1(1), 46-54
Hess, N, H., & Hagen, E, H., (2006). Sex differences in indirect aggression: Psychological evidence from young adults. Evolution and Human Behavior, 27(3), 231-245
Ega Asnatasia Maharani - Dosen, Psikolog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H