Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan, Konflik, dan Sosialisasi Bias Gender

18 Januari 2021   08:50 Diperbarui: 18 Januari 2021   09:19 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh perilakunya antara lain: menggunakan silent treatment, menyangkal atau menekan perasaan, selalu menganggap dirinya korban agar bisa menyalahkan orang lain, manipulatif dan ingin mengontrol berlebihan.

Pada level jangka panjang dalam sebuah hubungan, pola pasif-agresif ini tidak kurang berbahayanya dibanding agresi langsung. Hubungan menjadi lemah secara fungsi sebab pihak-pihak di dalamnya tidak tumbuh dalam konflik yang konstruktif.

Skema sosial yang lebih luat telah mencatat, konflik dengan sesama perempuan sebenarnya menghambat kemajuan gerakan perempuan itu sendiri. Budaya mom-shaming, women rivalry, bergosip, cyber bullying pada akhirnya tidak lebih dari upaya kita menyabotase perempuan lain alih-alih bentuk menunjukkan kepedulian.

Perempuan mestinya memiliki kesadaran bahwa ada banyak cara untuk mendialogkan konflik, bahwa kritik bisa diberikan dan diterima secara sehat, bahwa keberadaan perempuan-perempuan hebat lain di luar sana  bukan berarti kita kehilangan makna diri sebagai perempuan hebat juga.

Pola sosialisasi yang bias gender juga mesti berubah. Anak perempuan boleh bermain secara kompetitif, begitupun anak laki-laki boleh bermain dalam rangka menjalin keakraban.

Ketika di dalamnya timbul konflik, baik anak perempuan maupun laki-laki perlu dilatih untuk mengenali emosinya, melihat alternatif pemecahannya, menyampaikan pendapatnya secara asertif, lalu menerima kemungkinan adanya kebenaran versi orang lain.

Di dalam dunia modern yang meminta anak-anak mempelajari 4 C's soft skills (communication, collaborative, critical thinking, creativity) ada baiknya kita juga mendorong mereka mempelajari C berikutnya yaitu conflict management.

Apalagi sebagai negara dengan kasus bullying kelima tertinggi di dunia, kemampuan ini mutlak dipelajari sejak dini. Anak-anak perlu belajar bahwa sejatinya kedamaian hadir bukan ketika kita mampu menekan masalah, namun dari kemampuan mengatasi konflik melalui cara-cara damai.

Reference:
Ellemers, N., (2014). Women at Work: How Organizational Features Impact Career Development. Behavioral and Brain Sciences, 1(1), 46-54

Hess, N, H., & Hagen, E, H., (2006). Sex differences in indirect aggression: Psychological evidence from young adults. Evolution and Human Behavior, 27(3), 231-245

Ega Asnatasia Maharani - Dosen, Psikolog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun