Lebih dari 40 juta siswa di Indonesia terlibat dalam model pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi covid-19. Bagi mayoritas orangtua sistem ini menimbulkan banyak masalah. Mereka kerap merasa gagal sebagai orangtua yang juga berperan sebagai guru.Â
Namun demikian, perlu diingat bahwa situasi ini bukanlah kondisi "darurat akademik" sehingga tujuan pendidikan saat ini seharusnya bukan mengejar ketuntasan belajar, namun membantu anak-anak menghadapi kesulitan situasi ini dengan mengembangkan sikap resilien, penuh kesadaran, serta memiliki lebih banyak kebaikan dari diri mereka.Â
Hal ini juga tertuang pada Surat Edaran Mendikbud No.4 Tahun 2020 point 2.a: ".......pembelajaran daring/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan selurug capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan", serta point 2.b: "Belajar dari rumah dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19"
Tentu saja ini tugas yang tidak mudah. Bagi putra putri kita, ini adalah kesulitan berskala global yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya sehingga menimbulkan banyak kebingungan dan ketidakpastian.Â
Beradaptasi dengan pembelajaran online, minim interaksi sosial, terbatasnya area bermain memiliki konsekuensi logis munculnya berbagai problem emosi dan perilaku pada anak.Â
Namun dari sudut pandang pendidikan, kondisi ini tidak sepenuhnya dipandang sebagai "kerugian". Justru ini adalah waktu yang matang bagi kita membantu anak-anak mempelajari konsep-konsep kecerdasan emosi seperti:
Kekuatan dari dalam selalu lebih kuat dari dorongan dari luar
Manusia dilahirkan dengan mata memandang keluar lalu dibesarkan dengan pemahaman pentingnya penghargaan orang lain. Ini tentu saja hal yang normal, namun tidak membantu pembentukan konsep diri positif dalam skala jangka panjang.Â
Masa pandemi ini memberikan anak kesempatan untuk melihat bahwa kekuatan untuk mengatasi masalah ada pada diri mereka sendiri. Azriliya Aliya Nabila, seorang anak SD usia 7 tahun dari Kabupaten Bandung Barat beberapa waktu lalu menyumbangkan seluruh tabungannya untuk para dokter yang berjuang melawan Covid-19.Â
Dorongan serupa juga dilakukan oleh Navla Syakira, peserta didik dari TK di Kabupaten Bantul yang menyumbangkan seluruh isi celengannya selama satu tahun untuk membantu warga terdampak virus corona. Melalui pengalaman ini mereka akan belajar bahwa kekuatan dalam diri adalah segala yang mereka butuhkan untuk membantu diri sendiri,- bahkan membantu orang lain.
Orangtua perlu membantu anak melihat gambaran besar dari situasi ini untuk meyakinkan bahwa ketidaknyamanan dan kesulitan yang mereka hadapi tidak akan berlangsung selamanya.Â
Sama halnya dengan kenyamanan dan kemudahan yang mungkin selama ini diterima anak tetapi kurang dimaknai nilainya, berbagai kondisi ini akan terus datang dan pergi bergantian selama hidup.Â
Ajarkan anak untuk menjadi observer peristiwa-peristiwa lain di sekitarnya, bahkan mungkin juga yang berskala global seperti Perang Dunia, atau berbagai bencana alam yang baru saja terjadi.Â
Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl dalam bukunya The Danish Way of Parenting menuliskan bahwa orangtua Denmark berhasil mendidik anak-anak mereka menjadi orang yang berbahagia justru salah satunya melalui dongeng yang memiliki kisah tragis.Â
Cerita tentang kesulitan, perjuangan, dan konflik ternyata meningkatkan kemampuan sosial emosi anak karena mampu mengkomunikasikan kebenaran tentang pengalaman manusia dan membantu anak mengkonstruksi penilaian yang lebih realistis tentang dunianya.
Empati dan membantu sesama
Setiap anak yang mampu beralih dari "aku, aku, aku" menjadi "kita, kita, kita" akan mempelajari nilai kemanusiaan yang luar biasa besar dari pandemi ini.Â
Pada model kurikulum sekolah manapapun, pembentukan empati dan peka pada kebutuhan orang lain tidak bisa dibangun tanpa ada pengalaman langsung yang dialami anak.Â
Walaupun pandemi ini mengharuskan anak menjaga jarak fisik dengan orang lain, orangtua harus tetap hadir memberikan pemahaman bahwa koneksi, kerja sama, kepekaan adalah hal-hal yang akan membantu kita keluar dari situasi ini bersama-sama.Â
Menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk misalnya, bukan lagi soal kebiasaan menjaga kesopanan saja tapi juga perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan orang lain. Tertib antri di eskalator bukan lagi hanya bertujuan untuk menahan diri tapi upaya kepedulian pada keberadaan orang lain.Â
Jika biasanya orangtua mengajarkan sesuatu dengan embel-embel mengapa hal itu baik untuk kepentingan anak, saat ini pola komunikasi semacam itu harus ditambahkan: bagaimana orang lain juga akan mengambil manfaat dari perilaku kita?
Menerima kompleksitas peristiwa
Situasi ini mungkin bagaikan roller-coaster bagi anak. Awalnya mereka sama sekali tidak boleh meninggalkan rumah, lalu boleh dengan berbagai aturan, sekarang boleh namun masih banyak area yang tidak mengizinkan mereka masuk (termasuk sekolahnya sendiri).Â
Di atas segalanya, situasi secara umum belum "normal" bagi mereka. Pengaturan ini tentu membingungkan, khususnya pada anak usia kanak-kanak yang belum memahami konsep paradoks:Â bahwa sesuatu bisa memiliki nilai benar dan salah sekaligus.Â
Ketika anak paham bahwa bepergian jauh adalah hal yang harus dihindari saat ini, sulit baginya memahami mengapa airport atau stasiun kereta masih beroperasi. Ketika ia diajarkan untuk selalu memakai masker, tentu akan membingungkan baginya melihat orang di televisi bebas berbicara tanpa menggunakan masker.Â
Mendampingi anak mencerna situasi yang penuh transisi ini, sebagai orangtua kita harus membuka dialog alih-alih menjelaskannya sebatas "mereka salah, pilihan kita lah yang benar".
Akui kompleksitas itu dan berikan kesempatan bagi anak memproses pikiran dan perasaanya. Beri validasi pada emosi apapun yang muncul, "Rasanya bingung dan kesal ya ada yang pakai masker dan tidak .. padahal kakak sudah berusaha tertib...."
Dari sudut pandang psikologi kognitif, anak perlu memiliki kemampuan memproses ambiguitas dan konsep dikotomi semacam ini, sehingga di masa dewasanya, mereka mampu membentuk nilai moral yang lebih baik.
Serupa dengan berlian yang dibentuk melalui tekanan dan panas ektrem, anak-anak sesungguhnya dapat tumbuh dari pengalaman sulit ini lebih baik dari sebelumnya. Bersedia menyediakan ruang yang aman bagi mereka tidak melulu berarti mengurungnya di rumah atau menyediakan fasilitas agar anak merasa nyaman.Â
Lebih dari itu, kita harus siap hadir dalam setiap perjalanan emosi agar pandemi covid-19 ini menjadi periode yang bermakna bagi mereka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H