Ajarkan anak untuk menjadi observer peristiwa-peristiwa lain di sekitarnya, bahkan mungkin juga yang berskala global seperti Perang Dunia, atau berbagai bencana alam yang baru saja terjadi.Â
Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl dalam bukunya The Danish Way of Parenting menuliskan bahwa orangtua Denmark berhasil mendidik anak-anak mereka menjadi orang yang berbahagia justru salah satunya melalui dongeng yang memiliki kisah tragis.Â
Cerita tentang kesulitan, perjuangan, dan konflik ternyata meningkatkan kemampuan sosial emosi anak karena mampu mengkomunikasikan kebenaran tentang pengalaman manusia dan membantu anak mengkonstruksi penilaian yang lebih realistis tentang dunianya.
Empati dan membantu sesama
Setiap anak yang mampu beralih dari "aku, aku, aku" menjadi "kita, kita, kita" akan mempelajari nilai kemanusiaan yang luar biasa besar dari pandemi ini.Â
Pada model kurikulum sekolah manapapun, pembentukan empati dan peka pada kebutuhan orang lain tidak bisa dibangun tanpa ada pengalaman langsung yang dialami anak.Â
Walaupun pandemi ini mengharuskan anak menjaga jarak fisik dengan orang lain, orangtua harus tetap hadir memberikan pemahaman bahwa koneksi, kerja sama, kepekaan adalah hal-hal yang akan membantu kita keluar dari situasi ini bersama-sama.Â
Menutup hidung dan mulut saat bersin atau batuk misalnya, bukan lagi soal kebiasaan menjaga kesopanan saja tapi juga perlu dilakukan untuk melindungi kesehatan orang lain. Tertib antri di eskalator bukan lagi hanya bertujuan untuk menahan diri tapi upaya kepedulian pada keberadaan orang lain.Â
Jika biasanya orangtua mengajarkan sesuatu dengan embel-embel mengapa hal itu baik untuk kepentingan anak, saat ini pola komunikasi semacam itu harus ditambahkan: bagaimana orang lain juga akan mengambil manfaat dari perilaku kita?
Menerima kompleksitas peristiwa
Situasi ini mungkin bagaikan roller-coaster bagi anak. Awalnya mereka sama sekali tidak boleh meninggalkan rumah, lalu boleh dengan berbagai aturan, sekarang boleh namun masih banyak area yang tidak mengizinkan mereka masuk (termasuk sekolahnya sendiri).Â
Di atas segalanya, situasi secara umum belum "normal" bagi mereka. Pengaturan ini tentu membingungkan, khususnya pada anak usia kanak-kanak yang belum memahami konsep paradoks:Â bahwa sesuatu bisa memiliki nilai benar dan salah sekaligus.Â
Ketika anak paham bahwa bepergian jauh adalah hal yang harus dihindari saat ini, sulit baginya memahami mengapa airport atau stasiun kereta masih beroperasi. Ketika ia diajarkan untuk selalu memakai masker, tentu akan membingungkan baginya melihat orang di televisi bebas berbicara tanpa menggunakan masker.Â