Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Beradaptasi untuk Versi Terbaik "New Normal"

15 Mei 2020   10:42 Diperbarui: 16 Mei 2020   08:52 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini dimungkinkan dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa pandemic Covid-19 akan berakhir dalam 3 bulan ke depan. Dibandingkan negara tetangga, Indonesia dan Malaysia menunjukkan sentiment positif paling tinggi di linimasa media sosial ketika membahas tentang COVID.

Hasil survey ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran kita untuk merekonstruksi 'new normal' ke dalam langkah konkrit karena didorong perasaan bahwa semua yang terjadi saat ini bersifat temporer. Padahal faktanya, hingga saat ini flattening the curve belum terjadi di Indonesia. 

Relaksasi kebijakan bukan berarti kita siap ke kondisi 'normal' sebelumnya. Beberapa negara bahkan tengah menyiapkan diri apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi. Korea Selatan, China, Jerman telah membangun infrastruktur pengawasan sebagai langkah antisipatif. 

Nampaknya, Korea Selatan juga berkaca dari pengalaman di tahun 2005 ketika wabah MERS terjadi di negaranya. Saat itu mereka membangun pusat kesehatan mental khusus bagi penyakit menular karena melihat krisis kesehatan mental terjadi di masa karantina virus MERS. Langkah itu terbukti efektif menanggulangi kasus kesehatan mental pasca outbreaks MERS khususnya di kalangan tenaga medis dan pasien atau keluarga terdampak.

Lalu, dari mana kita bisa bersiap? Langkah rekonstruksi 'new normal' bisa kita mulai dari merubah mindset tentang status pandemik ini. Alih-alih melihatnya hanya sebagai ancaman, kita juga bisa memilih untuk melihatnya sebagai peluang.

Carol Dweck, seorang Psikolog dari Standford University, membagi mindset ke dalam dua jenis: Fixed vs Growth. Fixed mindset berasumsi bahwa karakter, kecerdasan, potensi kreativitas memiliki sifat tetap dan tidak dapat diubah. Para pemilik fixed mindset percaya bahwa kualitas-kualitas tersebut sulit diupayakan.

Mereka selalu mengejar kesuksesan mutlak dan sangat menghindari kegagalan. Sebaliknya, growth mindset selalu berupaya mencari tantangan, melihat kegagalan sebagai peluang untuk tumbuh dan memperluas kemampuan. Mereka bersemangat dalam proses hidupnya karena didorong rasa ingin tahu alih-alih untuk mencapai penghargaan orang lain.

Peluang tidak pernah berasal dari tempat yang nyaman. Memiliki mentalitas growth membantu melihat masalah dan alternatif pemecahannya sekaligus. Orang-orang semacam ini ada di sekitar kita: para penunggang ombak, pembelajar yang lahir dari situasi sulit. Kita tidak akan kesulitan menemukan kisah-kisahnya karena energi mereka sulit diabaikan.

Pandemik ini membawa banyak masalah, tentu saja. Kehilangan pekerjaan, kehidupan yang terenggut mendadak, keterbatasan ruang gerak. Namun setiap hari kita juga tidak kekurangan kisah-kisah inspiratif yang memberi arti pada standar 'new normal'. 

Para pedagang toko tradisional yang meningkat dengan sistem online, penggiat life-style yang memperluas areanya ke gaya hidup sehat, para pengajar yang menemukan cara-cara unik untuk menyapa anak didiknya. Kuncinya ada pada optimisme dan pesimisme: melihat mana yang mampu diubah dan tidak dapat diubah, lalu pilihan kita untuk fokus pada yang mana?.

Jika kita sudah bisa menemukan percikan mentalitas itu ada, berikutnya integrasikan pada perspektif yang lebih luas. Apa skill baru yang ingin dipelajari? Perilaku baru apa yang diperlukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun