Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menakar Literasi Kesehatan Mental

23 Februari 2020   16:53 Diperbarui: 24 Februari 2020   05:16 1738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padahal gejala-gejala tersebut sebenarnya adalah bentuk problem psikologis, yang bisa saja berdiri sendiri tanpa masuk kategori gangguan mental.

Konsekuensi dari rendahnya pemahaman ini menyebabkan masyarakat cenderung mencari dukungan dari orang-orang terdekat saja daripada mencari bantuan profesional. Gangguan mental dipercaya dapat sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Stigma dan Budaya.

Musuh utama tercapainya literasi kesehatan mental adalah stigma dan pengaruh budaya. 9 dari 10 orang dengan problem mental dilaporkan mengalami diskriminasi dalam hal: mendapat pekerjaan, memiliki hubungan jangka-panjang yang stabil, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. 

Hal ini dikarenakan adanya stigma yang melekat bahwa gangguan mental berasosiasi dengan "kekerasan" , "disabilitas", dan "berbahaya".

Padahal faktanya, mereka yang mengalami gangguan mental lebih dimungkinkan menerima serangan atau membahayakan diri sendiri dibanding membahayakan orang lain.

Pada salah satu chapter buku "Loving the Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia", Regis Machdy, penulis sekaligus penyintas gangguan depresi menggambarkan bagaimana stigma masih terbentuk dalam persepsi masyarakat awam. Depresi kerapkali dianggap sebagai jiwa yang lemah, kurang bersyukur, bahkan kurang beriman. 

Akibatnya, mereka yang secara terbuka mengaku mengalami depresi kurang mendapat dukungan untuk mencari penanganan yang tepat dan justru dianggap sedang mencari perhatian.

Stigma yang sama masih terus mengikuti bahkan ketika penderita depresi melakukan percobaan bunuh diri. Kecaman, makian, judgement akan mudah sekali dilontarkan tanpa kita mau sungguh-sungguh memahami mengapa dorongan bunuh diri itu muncul.

Tantangan berikutnya ada pada faktor budaya. Masyarakat yang menganut nilai kebersamaan (collectivism) dan dipengaruhi budaya supranatural yang kuat cenderung memiliki literasi kesehatan mental rendah. Populasi di Asia dan Afrika dilaporkan memiliki stigma yang lebih tinggi dibandingkan populasi di masyarakat Eropa.

Hal ini dikarenakan budaya kebersamaan menyebabkan individu mudah memasuki wilayah privat individu lain bahkan tanpa diminta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun