Mohon tunggu...
Ega Ardiana
Ega Ardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Love about art

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ini

8 Februari 2024   09:13 Diperbarui: 8 Februari 2024   09:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personal Image/ Ega Ardiana 

Hari ini, seperti biasa, Karin pulang dari tempat kerja menaiki sepeda motor lama. Bekerja dari pagi hingga sore, lalu pulag dengan menahan rasa kantuk. Dia sengaja lewat jalan dalam alias jalan tikus agar tak terkena macet di jalan utama. 

Setengah perjalanan sudah dilalui dengan selamat, tapi tiba-tiba gas motornya seperti tersendat-sendat. 

"Pasti mau mogok." Tak lama, motor benar-benar berhenti

Karin panik, dia bingung, langit juga semakin gelap menunjukkan jika akan segera maghrib. Dia turun dari motor dan menuntunnya untuk mencari bengkel. Tak jauh dari tempat mogok, dia melihat seorang pria yang sepertinya sudah bapak-bapak dengan rambut putih. Karin bertanya, "Permisi, bengkel di daerah ini apa masih jauh ya Pak?"  

"Wah, masih jauh mbak. Di ujung jalan sana. Mogok ya motornya?" Setelah menjawab pertanyaan Karin, bapak itu mengamati wajah Karin. Karin juga merasa dia kenal dengan bapak ini, tapi dia juga lupa pernah ketemu dimana.

"Kamu Karin ya? Temannya Indah?" Tanya bapak

"Iya Pak, saya teman sekelas Indah dulu waktu di SMA. Hmm, bapak ini bapaknya Indah?"

"Iya, lama gak ketemu kamu. Ayo ke rumah saya aja, biar coba saya benerin. Indah juga lagi di rumah."

"Tapi merepotkan Bapak rasanya."

"Tidak ada yang repot, daripada kamu tidak bisa pulang?"

"Oh, iya Pak."

Karin mengiyakan pertolongan dari bapak teman lamanya. Bapak itu yang sekarang menuntun motor Karin hingga sampai ke rumahnya. Karin juga mengikuti bapak, dia sendiri lupa dimana letak rumah Karin karena sudah sangat lama tidak kesana, apalagi semenjak Indah kuliah di luar kota.

Karin dan bapak Indah sudah sampai di rumah. Sepeda motornya yang mogok di parkir di teras. Karin dipersilahkan masuk, Bapak Indah memanggil Indah untuk menemui teman lama. 

"Kariiinn, akhirnya kita ketemu lagi." Indah menyambut kedatangan Karin dengan bahagia

"Iya Indah, gimana kabar kamu? Lama gak ketemu."

"Aku baik, lagi skripsi sekarang. Kamu sendiri gimana?"

"Aku juga baik dan masih kerja di tempat yang sama. Jadi pramusaji di restoran."

"Wah, semangat kerjanya." 

Bapak Indah datang pada mereka berdua dengan membawa peralatan untuk membetulkan sepeda motor Karin yang mogok. 

"Kalian silahkan berbincang banyak hal, setelah bertahun-tahun tidak ketemu. Biar Om benerin motor kamu dulu ya Karin?"

"Iya Om, terima kasih banyak. Maaf Karin merepotkan,"

Karin dan Indah sangat senang mereka bertemu kembali setelah sekian lama. Mereka berdua langsung mengobrol tentang banyak hal. Termasuk motor Karin yang tiba-tiba mogok. Hingga percakapan tentang keluarga.

"Jadi adik-adik kamu sekarang udah SMA ya? Dulu aku ingat mereka masih SD kelas 6 terus ada yang SMP. Sekarang kamu juga yang biayain mereka. Maaf sebelumnya, gimana dengan Bapak kamu? Apa masih tetap seperti dulu?" Tanya Indah. Dia penasaran, apakah Bapak Karin masih punya sifat yang sama seperti dulu atau tidak.

"Ya begitu. Bapakku bukan orang yang pekerja keras, masih suka bentak istri dan anak-anaknya. Kebiasaan buruk lain juga masih ada, cuma bisa malak uang kami, bukan memberi uang untuk kebutuhan. Padahal ibu dan kami, anak-anakny, bukan tipe orang yang suka menuntut banyak hal. Dia juga udah pernah sakit sampai lama dirawat di sana. Aku gak tahu kapan dia mau berubah," Karin bercerita dengan penuh perasaan. Ada rasa kesal dan marah di hatinya.

"Aku salut sama kesabaran kamu. Di usia ini juga udah bisa bantuin biaya adik kamu."

Karin tersenyum, dia lanjut bicara, "Makanya Ndah, kamu harus bersyukur. Kamu punya orang tua yang mendukung kamu, bapak kamu juga orang baik, beliau orangnya memang tegas, tapi bukan orang yang suka bentak-bentak istri atau anaknya. Bapak kamu bisa menyelesaikan masalah dengan bijak, bukan malah menambah masalah karena kebiasaan buruk."

"Iya Karin, maaf kalau aku jadi buat kamu sedih. Karena aku ingat aja waktu dulu."

"Iya, gakpapa. Mentalku udah makin kuat. Walau sebenarnya aku juga gak suka terus-terusan melihat keributan yang dibuat bapakku sendiri."

"Ya itu wajar, siapa yang suka melihat orang yang dianggap orang tua malah bertingkah buruk dan juga memberi luka, bukan melindungi."

"Kamu benar, jadi sekarang aku harus bisa jaga ibu aku dan adik-adik aku. Aku juga bersyukur bisa kerja dan punya uang sendiri. Setidaknya ibuku tidak perlu minta uang pada bapakku yang bisanya marah-marah."

Nrengg...nrengg...nrengg....

Motor Karin sudah bisa menyala kembali. Perbincangan Karin dan Indah pun usai setelah Karin memilih pulang karena motornya sudah menyala. Indah juga memaklumi jika Karin harus pulang cepat, dia juga tidak ingin Karin dimarahi bapaknya sendiri karena pulang ke rumah tidak seperti jam biasanya.

Menempuh setengah perjalanan, Karin sampai di rumahnya. Dia masuk ke dalam rumahnya yang sunyi, tapi dia melihat ada piring pecah. 

Tak lama, bapaknya berjalan menuju Karin dari arah dapur. 

"Mana uang?!" Tanya bapaknya dengan nada bicara yang tinggi

"Karin belum gajian Pak. Gaji bulan ini buat bayar keperluan sekolah adik-adik, bukan buat hal lain yang gak penting."

"Alah, masih punya uang sebenarnya! Tapi gak mau ngasih uang! Hari ini pulang juga telat, kluyuran ngabisin uang sendiri."

Karin diam tidak ingin menjawab kalimat bernada marah dari bapaknya. Dia langsung menuju kamarnya dan adik perempuannya.

Di sana dia melihat Ibu, adik perempuan, dan adik laki-lakinya yang sepertinya juga menghindar dari kemarahan bapak. 

"Karin, akhirnya kamu pulang." Ucap Ibunya, lalu memegang tangan Karin

"Tadi bapak marah-marah lagi sampai mecahin piring." Tambah adik laki-laki Karin

Karin terkejut, dia terdiam sebentar, lalu bicara lagi, "Maafin Kak Karin pulang terlambat. Tadi motornya mogok lagi, tapi untung ada Om Radit yang bantuin benerin motornya. Jadi kakak gak perlu ke bengkel." 

Perasaan yang Karin rasakan campur aduk. Dia lega bisa sampai rumah, tapi juga kesal melihat tingkah laku bapaknya. Karin juga khawatir dengan adik-adik dan ibunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun