Mohon tunggu...
Ega Ardiana
Ega Ardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Love about art

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilih Kasih

6 November 2023   14:02 Diperbarui: 6 November 2023   14:10 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita duduk di bangku nomor tiga dari depan saja." Ajak Karin pada Dinda di tengah suasana kelas yang lumayan ramai.

"Oh, bagus. Daripada kehadiran kita membuat beliau tidak nyaman." Dinda menyetujui ajakan Karin.

Karin dan Dinda, dua orang teman dekat yang selalu bersama. Karena mereka berdua berasal dari daerah yang sama. Lalu bersekolah SMA di pusat kota. Kamar asrama mereka pun juga saling bersebelahan.

Tak...tak...tak...

Suara sepatu dari Bu Lili yang akan mengajar pelajaran seni hari ini. Wanita dengan riasan alis dan mata yang tebal. Ketika memasukinya ruangan kelas, semua murid langsung duduk dengan tenang dan diam.

"Pagi semua,"

"Pagiiii Bu." Serentak bersama-sama

"Hari ini adalah pelajaran seni. Ibu harap kalian semua sudah membawa cat lukis dan mengambil kanvas."

"Siap, sudah Bu." 

Masing-masing dari murid di kelas mulai menata kanvas ukuran kecil dan mempersiapkan cat lukis. Termasuk Karin dan Dinda.

Dari bangku Karin dan Dinda duduk, terlihat jika Bu Lili melihat terus ke arah mereka berdua. Benar saja, dia mulai berjalan mendekati bangku Karin dan Dinda. Hingga akhirnya tepat berdiri di samping Karin yang duduk di sebelah kanan.

"Hai Karin dan Dinda. Penampilan kalian tetap sama ya. Baju seragam yang biasa, cenderung agak lusuh. Wajah biasa saja, tidak terlihat cantik seperti siswi-siswi perempuan lain di kelas ini. Oh, ini juga cat lukisnya harga murah pasti." Bu Lili memulai pembicaraan dengan ucapan yang tidak mengenakkan. 

"Baju kami rapi kok Bu. Hanya saja kami tidak memakai barang mahal seperti teman lainnya dan merias wajah sekedar saja. Untuk cat harga murah ini juga menyesuaikan uang yang kami punya." Jawab Karin. Telinganya merasa risih dengan ucapan Bu Lili.

"Palingan uangnya dibuat foya-foya." Celetuk Bu Lili, lalu pergi melihat murid yang lain. 

Karin dan Dinda sudah tidak terkejut lagi mendengar ucapan gurunya itu. Memang dia menyimpan rasa tidak suka pada mereka berdua. 

Begitu pun dengan murid-murid lain di kelas yang hanya bisa diam melihat tingkah dan ucapan Bu Lili. 

*******

Istirahat tiba...

Suasan kantin tentunya ramai, juga tercium aroma makanan yang membuat semakin lapar.

"Haloo, para pelukis handal." Sapa seorang siswi pada Karin dan Dinda.

"Eh, Rara." 

"Kamu bisa gabung sama kita." 

"Tentu saja, silahkan makan bekal kalian sampai habis. By the way, selamat untuk kemenangan minggu lalu. Tapi memang lukisan kalian bagus banget dan penuh makna." 

"Terima kasih," secara tak sengaja Karin dan Dinda mengucapkan bersama-sama.

"Guru pembina kalian siapa? Bu Lili atau Pak Husni?." Tanya Rara penasaran. Wajahnya terlihat penuh tanya.

"Pak Husni, karena beliau yang mau mengarahkan kita. Berawal dari ide kita berdua yang ditolak oleh guru lain." Jawab Dinda, seketika wajahnya masam.

"Guru yang pilih kasih seperti Bu Lili." Celetuk Rara, "Bu Lili tidak mungkin mau mengajari murid yang biasa, maksudnya tidak famous dan bukan dari kalangan berada. Aku tahu itu, semoga hati kalian berdua baik-baik saja."

"Lebih tepatnya kita berdua berusaha terbiasa. Karena memang kita juga bukan anak kota ini." Tambah Karin dengan nada yang rendah. 

"Berbeda dengan Pak Husni. Guru sederhana yang ramah. Beliau tidak memandang kita berdua kaya atau tidak. Tapi benar-benar melihat potensi kita. Dan aku sangat bersyukur bertemu beliau." Dinda mengutarakan pendapatnya dengan penuh semangat.

Rara melihat wajah Karin dan Dinda yang berubah-ubah. Kadang terlihat senang dan kadang juga terlihat sedih. Hingga Rara ingin mengutarakan pendapatnya. "Aku pikir orang dewasa harusnya bersikap seperti Pak Husni, apalagi kalau dia juga seorang guru. Seperti kata mutiara, orang yang tepat akan mengubah batu biasa menjadi berlian. Tapi ingat ya teman-teman, semua juga karena kemauan dan kemampuan kalian yang ingin berproses."

Karina menyimak kata-kata Rara hingga sampai ke perasaannya, lalu dia berkata, "Benar kata kamu. Sejujurnya jika di tanya sedih atau tidak. Aku sedih bertemu dengan orang yang tidak bisa menghargai seperti Bu Lili. Tapi aku tetap bersyukur." 

"Bersyukur karena kita jadi tahu, mana orang yang tulus dan yang tidak." Tambah Dinda.

"Aku suka sama semangat kalian. Aku harap kalian jangan mendengarkan ucapan Bu Lili yang suka mengganggu suasana hati menjadi buruk. Ayo di makan lagi bekalnya, maaf kalau aku mengganggu makan istirahat kalian."

Percakapan usai sementara ketika makanan pesanan Rara sampai. Mereka bertiga melanjutkan obrolan setelahnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun