"Kamu bisa gabung sama kita."Â
"Tentu saja, silahkan makan bekal kalian sampai habis. By the way, selamat untuk kemenangan minggu lalu. Tapi memang lukisan kalian bagus banget dan penuh makna."Â
"Terima kasih," secara tak sengaja Karin dan Dinda mengucapkan bersama-sama.
"Guru pembina kalian siapa? Bu Lili atau Pak Husni?." Tanya Rara penasaran. Wajahnya terlihat penuh tanya.
"Pak Husni, karena beliau yang mau mengarahkan kita. Berawal dari ide kita berdua yang ditolak oleh guru lain." Jawab Dinda, seketika wajahnya masam.
"Guru yang pilih kasih seperti Bu Lili." Celetuk Rara, "Bu Lili tidak mungkin mau mengajari murid yang biasa, maksudnya tidak famous dan bukan dari kalangan berada. Aku tahu itu, semoga hati kalian berdua baik-baik saja."
"Lebih tepatnya kita berdua berusaha terbiasa. Karena memang kita juga bukan anak kota ini." Tambah Karin dengan nada yang rendah.Â
"Berbeda dengan Pak Husni. Guru sederhana yang ramah. Beliau tidak memandang kita berdua kaya atau tidak. Tapi benar-benar melihat potensi kita. Dan aku sangat bersyukur bertemu beliau." Dinda mengutarakan pendapatnya dengan penuh semangat.
Rara melihat wajah Karin dan Dinda yang berubah-ubah. Kadang terlihat senang dan kadang juga terlihat sedih. Hingga Rara ingin mengutarakan pendapatnya. "Aku pikir orang dewasa harusnya bersikap seperti Pak Husni, apalagi kalau dia juga seorang guru. Seperti kata mutiara, orang yang tepat akan mengubah batu biasa menjadi berlian. Tapi ingat ya teman-teman, semua juga karena kemauan dan kemampuan kalian yang ingin berproses."
Karina menyimak kata-kata Rara hingga sampai ke perasaannya, lalu dia berkata, "Benar kata kamu. Sejujurnya jika di tanya sedih atau tidak. Aku sedih bertemu dengan orang yang tidak bisa menghargai seperti Bu Lili. Tapi aku tetap bersyukur."Â
"Bersyukur karena kita jadi tahu, mana orang yang tulus dan yang tidak." Tambah Dinda.