Mohon tunggu...
Ega Ardiana
Ega Ardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Love about art

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ngerumpi

13 Agustus 2023   06:54 Diperbarui: 13 Agustus 2023   06:56 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Siang ini cerah, bahkan panas matahari terasa menyengat. Membuat kepala ku ini sampai merasa pusing. Tapi saat melewati lapangan, banyak anak-anak bermain bola disana. Mungkin karena sudah hobi, tidak peduli cuaca sepanas ini, atau memang aku saja yang sedang kurang sehat.

Aku lanjutkan jalanku menuju ke rumah. Kali ini melewati jalan yang dipinggirnya banyak pepohonan, jadi udara sejuk lebih terasa dengan semilir angin, dan tidak terasa panas lagi karena daun-daun pohon menutupi sinar matahari yang memancar. Melewati rumah besar di kanan jalan yang katanya angker. Aku juga melihat suasana rumah itu gelap, tapi masih ada penghuni di sana, yaitu pemiliknya sendiri. Tetap berjalan biasa saja, tidak perlu berlari terbirit-birit walaupun memang suasananya berbeda.

Langkah demi langkah akhirnya aku sampai di rumah. 

"Naya, akhirnya pulang dari bantu di sawah, sekarang makan dulu."

"Habis bantu di sawah, tapi gak kelihatan keringatan." Ucap tetanggaku yang ada di teras rumah

"Saya cuma mengantar makanan buat paman dan bapak." Setelah itu aku langsung masuk ke dalam rumah, lalu makan makanan yang memang sudah disajikan di meja makan.

Aku makan dengan sangat lahap, banyak minum air putih, bahkan tidak cuma dua gelas saja karena kepanasan dan harus berjalan tadi. Dari ruang makan ini, aku juga mendengar obrolan-obrolan tetangga dengan ibuku.

"Naya usia berapa? Apa seusia Dini?"

"Memang sepantaran." Jawab ibuku singkat

"Oh begitu, berarti lulus SMA ya?"

"Iya, habis ini mau lanjut kuliah. Juga bantuin aku dagang di rumah."

"Owalah, kenapa gak kerja aja? Kan dapat duit. Kuliah itu kan ngeluarin duit banyak, belum tentu nanti lulus dapat kerja bagus gaji tinggi."

"Kuliah itu juga bekal, menambah pengalaman Naya, biar dia tahu rasanya belajar di perguruan tinggi. Urusan kerja dan gaji nanti ada saatnya."

Betul perkiraanku, tetangga itu datang kemari untuk membanding-bandingkan pilihan orang lain. Aku rasa dia terlalu banyak ingin mengatur seseorang. Akhirnya aku berpindah duduk di ruang tamu, agar bisa lebih jelas mendengar obrolan ibu-ibu. Aku duduk di dekat pintu keluar.

"Ya terserah sih, kalau si Dini itu katanya mau nikah, terus suaminya udah mapan. Padahal kerjaan Dini itu kan cuma main, dandan, hedon, bisa dapat jodoh semapan itu."

"Mungkin udah takdirnya," balas ibuku dengan jawaban yang singkat lagi. 

"Ya cocok dong mbak Den, yang laki-laki mapan, yang perempuan hedon." Sahut tetangga ku yang baru datang, sepertinya juga ingin ikut ngrumpi.

"Eh, mbak Vina kok baru datang sih, jadi gak tahu info dari tadi loh." Bicara Bu Den dengan nada yang julid.

"Gakpapa gak dapat info dari tadi. Yang jelas soal anak-anak, mereka punya pilihan masing-masing, mbak Den gak usah banding-bandingin. Yang mau lanjut sekolah, juga orang tua mereka sendiri yang bayarin. Yang mau nikah dan udah cukup umur, ya mungkin memang sudah takdir jodohnya datang."

"Nah bener itu kata Bu Vina, kalau Naya pengen lanjut sekolah karena pengen dapat pengalaman, niat mencari ilmu, selain dapat gelar. Walaupun ada yang bilang kuliah ujung-ujungnya masuk dapur juga, kan memang masak itu di dapur. Naya juga pengen jadi wanita karir, punya uang sendiri." Jawabku sedikit panjang setelah Bu Vina datang dan rasa greget ku ini sudah agak melega. 

"Ya bagus Naya, orang yang ingin merubah keadaannya, punya cita-cita, memang harus berjuang. Bukan cuma diam, hanya mengharap saja. Berdoa tanpa berusaha itu berarti bohong, berusaha tanpa berdoa itu juga berarti sombong. Jadi harus dua-duanya, berdoa dan berusaha." Tambah Bu Vina

"Iya, lagipula kalau memang anak semangat belajar ya didukung sama orang tuanya." Balas ibuku 

"Iya sih, biar kerjaannya gak ngerumpi saja kayak saya ini." Jawab Bu Den 

Biasanya Bu Den masih bersikukuh membandingkan orang lain, tapi har

i ini entah kenapa beliau langsung pasrah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun