Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Minggu

14 April 2016   07:24 Diperbarui: 14 April 2016   07:38 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagasan SM Robert Raikes juga menyebar ke Eropa daratan seperti Jerman dan Belanda. Di Jerman bahkan menekankan keperluan guru terlatih untuk mengajar SM dengan membekali ilmu teologi dan pedagogi. Sama halnya di Inggris perkembangan SM di Jerman dan Belanda dilakukan oleh warga awam yang didorong oleh gerakan Pietisme. Gerakan SM makin mendunia seiring dengan misi Pekabaran Injil.

Sejalan dengan waktu SM pada akhirnya terintegrasi dengan gereja yang diawali oleh Belanda.  Di masa modern hampir tidak ada gereja (dalam arti struktural) di seluruh dunia yang tidak membuka kelas SM. Di beberapa negara bahkan membuka SM untuk berbagai golongan usia. Sudah barang tentu bahan pelajaran berbeda dalam setiap kelas. Kelas dewasa, misalnya, para peserta mendiskusikan isu-isu etis masa kini, selain juga memberikan keterampilan seperti komputer.

Di Indonesia ada gereja yang mengalihrupa istilah SM menjadi kebaktian anak (KA), misal Gereja Kristen Indonesia (GKI). Walau bernama KA pada kesehariannya tetap saja disebut dengan SM. KA adalah SM dengan kurikulum yang sudah diatur dan disiapkan secara serbacakup dengan membuat penjenjangan kelompok usia. Pada dasarnya SM di Indonesia (juga di banyak negara) bertujuan untuk mendidik dan membina iman anak berdasarkan kelompok usia. Pada gilirannya anak-anak ini akan mampu untuk bergabung dengan warga jemaat dewasa dalam kebaktian umum dan kehidupan bergereja. Mengapa harus ada pengelompokan kebaktian umum dan kebaktian anak? Jawabannya mudah saja karena nyaris mustahil anak-anak mampu menerima pengajaran dari mimbar pendeta/romo dengan bahasa pengajaran orang dewasa.

Apa yang telah dilakukan oleh Robert Raikes menunjukkan bahwa karya seorang awam (bukan rohaniawan atau pendeta) berdampak luar biasa bagi kehidupan bergereja. Dalam sejarah gereja cukup banyak peranan orang awam yang berdampak dahsyat bagi denyut nadi kehidupan bergereja. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau yang digadang-gadang sebagai empu pedagogi Kristen dan Ludwig van Beethoven, maestro musik klasik, yang satu dari ratusan nomornya diabadikan di Kidung Jemaat No. 3 Kami Puji dengan Riang (Joyful, Joyful, We Adore Thee). Keduanya menampilkan karya-karya agung bagi kehidupan bergereja, namun kemiskinan dan sakit-penyakit melekat pada kehidupan mereka.

Di Indonesia secara khusus di kalangan gereja Protestan tercatat nama TB Simatupang sebagai awam pemikir gereja, walau karya Pak Jenderal ini belum sedahsyat dampaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang di atas. Meskipun demikian saya meyakini ada banyak warga awam yang sudah dan sedang berkiprah besar untuk membangun kehidupan bergereja. Hanya saja mereka tidak atau belum terpublikasikan. Jangan-jangan saya bakal tercatat sebagai warga awam yang membawa dampak besar bagi gereja? Siapa tahu? Ha ha ha ha ha

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun