[caption caption="Ayam menantang bebek berenang (Sumber gambar http://indahcakrawala.com/ayam-atau-bebek)"][/caption]
Ada setidaknya tiga persoalan etis yang disorot riuh oleh masyarakat dan pemerintah pada Januari 2016, yaitu terorisme, Gafatar, dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Yang menarik ialah gatra agama menjadi pisau bedah favorit untuk menganalisis ketiga persoalan etis tersebut. Sayangnya yang digunakan sebagai mata pisau adalah dogma agama yang pejal. Rumusnya hanya satu untuk setiap masalah: “Tidak sama, maka kamu salah.”
Setiap agama mempunyai sendi-sendi yang fundamental. Tanpa yang fundamental itu agama akan mati atau setidaknya akan kehilangan kekuatannya. Menurut alm. Eka Darmaputera sendi-sendi fundamental yang merupakan jatidiri agama mencakup tiga matra, yaitu dogma, ritus, dan etika yang merefleksikan praksis. Agama yang banyak dipandang sebagai tulang punggung beroperasinya keluhuran dan kebajikan budi manusia pada kenyataannya beroperasi atas dasar dogma dan ritus belaka.
Kebangkitan Agama-agama
Kebangkitan agama-agama dalam 15 tahun belakangan ini memang sudah terendus dengan gejala-gejalanya pada akhir abad ke-20. Kebangkitan agama-agama sebenarnya patut disyukuri di tengah-tengah zaman yang serba-kejap ini, zaman smartphone. Sayangnya kebangkitan agama-agama menuju arah fundamentalistik yang tidak memberi makna baru bagi sejarah umat manusia, tetapi justru ingin menghentikan gerak sejarah dan memutarnya kembali ke belakang. Agama menjadi seperti fashion. Orang menggunakan atribut agama agar orang lain melihat bahwa ia beragama atau menganut agama tertentu.
Agama yang hanya berhasil membuat umatnya khusuk berdoa, gemar menggunakan atribut atau perlengkapan agama, tetapi tidak bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, tidak bersuara ketika hak-hak kepentingan umat yang sah dikebiri, yang hanya menanamkan kebencian, yang dengan kata lain tidak menunjukkan kepedulian etis tidak akan sanggup bertahan.
Kebangkitan agama-agama sebenarnya dirangsang oleh suatu keprihatinan etis yang besar terhadap gaya hidup modern. Anehnya agama tidak melahirkan pemikiran-pemikiran etis yang berbobot. Iman menjadi dogmatisme dan teologi menjadi ideologi. Dengan meminjam kalimat Eka Darmaputera kebangkitan agama-agama justru membuat agama-agama sedang mengalami kemerosotan kepedulian etis yang amat serius. Dalam pada itu Mustofa Bisri alias Gus Mus mengatakan bahwa seringkali semangat beragama tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang baik. Pemerintah harus menyadari (karena hal) itu merupakan ancaman yang serius dan masyarakat harus kembali pada jatidirinya sebagai orang yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab. (Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/01/29/05000091/Gus.Mus.Tuhan.Islam.Kah.Aku. )
Perasaan aman atas kepastian yang diperoleh dari rumus-rumus yang diwarisi dari pendahulu menyebabkan mereka bersikaf defensif dan insulatif. Mereka selalu mengingatkan orang lain akan bahaya dari pemikiran-pemikiran baru. Yang sangat tampak ketika isu LGBT menyeruak di kampus universitas besar. Lihat “Tanggapan Lebay Universitas Indonesia terhadap LGBT” di http://m.kompasiana.com/efrondp/tanggapan-lebay-universitas-indonesia-terhadap-lgbt_56a17937919773a50578688d.
Para penganut fundamentalisme menempatkan iman menjadi dogmatisme dan teologi menjadi ideologi. Kemudian muncullah aksioma “jika sudah ada iman tidak mungkin ada keraguan”. Dengan kata lain iman merupakan jawaban atas satu pertanyaan. Padahal hanya orang mati yang tidak mengajukan pertanyaan. Jika tidak ada pertanyaan, maka orang mustahil berteologi.
Etika Beragama
Teologi dan etika tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memertanyakan jawaban-jawaban yang ada. Teologi dan etika mempertemukan secara dialektika antara jawaban-jawaban dari kitab suci dan pertanyaan-pertanyaan dari kehidupan nyata. Justru di sinilah yang tidak ada pada penganut fundamentalisme yang ironisnya melekat pada banyak selebritis agama. Mereka mematikan kreativitas dan dinamika orang beriman dalam berteologi dan beretika.
Yang membuat saya geli ketika para selebritis agama menggunakan pisau bedah dogma agama untuk menilai terorisme, Gafatar, dan juga LGBT. Kegelian saya terjadi karena saya seperti melihat ayam ngajari bebek berenang. Menganalisis isu-isu etis tersebut dengan gaya fundamentalistik tidak ubahnya seperti ayam ngajari bebek berenang. Ayam yang tidak kompeten berenang, sok jago ngajari bebek yang sudah mahir berenang sejak lahir. Ini terbukti masyarakat, yang saya metaforakan sebagai bebek yang mahir berenang, menanggapi serangan bom Sarinah dengan tagar KamiTidakTakut. Tagar ini jelas menampar para selebritis agama yang fundamentalistik. Menanggapi LGBT masyarakat pun jauh lebih dewasa. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/01/31/08241681/Warga.Perbatasan.Bandung-Cimahi.Tak.Risaukan.Isu.LGBT
Istilah analisis oleh para selebritis agama tersebut di atas juga sebenarnya kurang tepat. Lebih tepatnya melakukan ujian dengan pilihan berganda. Ada soal, ada lima pilihan jawaban. Tidak satu pun dari lima pilihan jawaban itu yang bernasabah denga soal yang diajukan. Dengan demikian hasil ujinya adalah seperti rumus pada alinea pembuka di atas “Tidak sama, maka kamu salah.” Kemudian berlanjut “Kamu salah, maka kamu sesat.”
Seperti yang sudah ditulis agama mempunyai tiga matra dalam perwujudannya, yaitu dogma, ritus, dan etika. Pada matra etika inilah agama mempunyai nilai praksis. Agama akan mempunyai makna fungsional, jika ia mempunyai nilai praksis. Etika bukan untuk menilai apakah isu itu “baik” dan “benar”, melainkan untuk “apa yang sepatutnya” kita putuskan dan lakukan. Bandingkan “Menakar Kesadaran Etis Ahok”di http://m.kompasiana.com/efrondp/menakar-kesadaran-etis-ahok_54f89167a3331108168b4567
Masalah-masalah etis mendesak yang sedang dihadapi oleh agama-agama bersifat lintas-agama. Musuh bersama agama-agama sebenarnya permasalahan etis. Agama-agama mesti lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan lebih manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika. Beragama bukanlah untuk urusan vertikal saja, yang menekankan gatra dogma dan ritus. Keluhuran ajaran agama mestilah mempunyai nilai praksis untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan, kemiskinan, keadilan, demokrasi, terorisme, korupsi, LGBT, dan isu etis lainnya.
Untuk mengantisipasi keadaan alay agama tanpa etika ialah kebutuhan yang mendesak untuk membicarakan kemanusiaan sebagai “alat” guna menghadirkan “wajah” agama-agama di bumi pertiwi. Ketika manusia merasa terasing dengan kehidupan nyata yang dihadapi sehingga merasa terlempar dari agama, maka kinerja kemanusiaan haruslah menjadi yang utama agar agama senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah dibutuhkan etika beragama. Dengan itu mereka mampu beragama secara kritis, responsif, dan kontekstual, serta tidak menjadikan iman sebagai dogmatisme dan teologi sebagai ideologi.
Persoalan seperti korupsi, terorisme, LGBT, AIDS, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan yang menantang agama bukanlah permasalahan ringan. Apabila agama-agama tidak mampu menyikapi dan menjawab persoalan ini, maka agama benar-benar menjadi candu rakyat. Ia hanya menawarkan janji-janji muluk di akhirat tanpa pernah peduli persoalan etis. Agama hanyalah olok-olok bagai ayam ngajari bebek berenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H