Yang membuat saya geli ketika para selebritis agama menggunakan pisau bedah dogma agama untuk menilai terorisme, Gafatar, dan juga LGBT. Kegelian saya terjadi karena saya seperti melihat ayam ngajari bebek berenang. Menganalisis isu-isu etis tersebut dengan gaya fundamentalistik tidak ubahnya seperti ayam ngajari bebek berenang. Ayam yang tidak kompeten berenang, sok jago ngajari bebek yang sudah mahir berenang sejak lahir. Ini terbukti masyarakat, yang saya metaforakan sebagai bebek yang mahir berenang, menanggapi serangan bom Sarinah dengan tagar KamiTidakTakut. Tagar ini jelas menampar para selebritis agama yang fundamentalistik. Menanggapi LGBT masyarakat pun jauh lebih dewasa. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/01/31/08241681/Warga.Perbatasan.Bandung-Cimahi.Tak.Risaukan.Isu.LGBT
Istilah analisis oleh para selebritis agama tersebut di atas juga sebenarnya kurang tepat. Lebih tepatnya melakukan ujian dengan pilihan berganda. Ada soal, ada lima pilihan jawaban. Tidak satu pun dari lima pilihan jawaban itu yang bernasabah denga soal yang diajukan. Dengan demikian hasil ujinya adalah seperti rumus pada alinea pembuka di atas “Tidak sama, maka kamu salah.” Kemudian berlanjut “Kamu salah, maka kamu sesat.”
Seperti yang sudah ditulis agama mempunyai tiga matra dalam perwujudannya, yaitu dogma, ritus, dan etika. Pada matra etika inilah agama mempunyai nilai praksis. Agama akan mempunyai makna fungsional, jika ia mempunyai nilai praksis. Etika bukan untuk menilai apakah isu itu “baik” dan “benar”, melainkan untuk “apa yang sepatutnya” kita putuskan dan lakukan. Bandingkan “Menakar Kesadaran Etis Ahok”di http://m.kompasiana.com/efrondp/menakar-kesadaran-etis-ahok_54f89167a3331108168b4567
Masalah-masalah etis mendesak yang sedang dihadapi oleh agama-agama bersifat lintas-agama. Musuh bersama agama-agama sebenarnya permasalahan etis. Agama-agama mesti lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan lebih manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika. Beragama bukanlah untuk urusan vertikal saja, yang menekankan gatra dogma dan ritus. Keluhuran ajaran agama mestilah mempunyai nilai praksis untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan, kemiskinan, keadilan, demokrasi, terorisme, korupsi, LGBT, dan isu etis lainnya.
Untuk mengantisipasi keadaan alay agama tanpa etika ialah kebutuhan yang mendesak untuk membicarakan kemanusiaan sebagai “alat” guna menghadirkan “wajah” agama-agama di bumi pertiwi. Ketika manusia merasa terasing dengan kehidupan nyata yang dihadapi sehingga merasa terlempar dari agama, maka kinerja kemanusiaan haruslah menjadi yang utama agar agama senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat. Di sinilah dibutuhkan etika beragama. Dengan itu mereka mampu beragama secara kritis, responsif, dan kontekstual, serta tidak menjadikan iman sebagai dogmatisme dan teologi sebagai ideologi.
Persoalan seperti korupsi, terorisme, LGBT, AIDS, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan yang menantang agama bukanlah permasalahan ringan. Apabila agama-agama tidak mampu menyikapi dan menjawab persoalan ini, maka agama benar-benar menjadi candu rakyat. Ia hanya menawarkan janji-janji muluk di akhirat tanpa pernah peduli persoalan etis. Agama hanyalah olok-olok bagai ayam ngajari bebek berenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H