Tentu saja, pengorbanan yang diajarkan Bapak merupakan sebuah kepedulian. Sekalipun hasil akhirnya tetap sebuah ketidakpastian, tetapi niat baik harus terus berkumandang.
Aku pergi tidur dengan pikiran-pikiran ini, menghabiskan sisa sore itu dengan mengunci diri di kamar. Baunya sangat lembab dan membuatku harus mencium kotoran ayam yang mengepung di mana-mana.Â
Di sekitar kamarku, sinar matahari enggan menembus kaca jendela karena tertutup awan pekat.
Hujan akan turun, di saat Bapak masih memikirkan tentang rencana perkuliahanku. Malam ini, dia ingin membicarakannya lagi dengan pesan yang sangat serius.
"Ari, Bapak sebenarnya nggak keberatan kalau kau harus merantau. Tapi, coba pikirkan lebih matang, apa jurusanmu laku di dunia kerja?" kata Bapak.
"Soal kerja, nggak mungkin lah kampus berani buka jurusan kalau memang lulusannya nganggur."
"Benar yang kau bilang. Tapi, cobalah dulu ambil di fakultas hukum atau ekonomi."
"Aku udah lolos jalur undangan. Ini kan jawabannya pasti. Kalau harus ujian masuk lagi... Aku mau yang pasti-pasti aja. Tamat sekolah, kuliah."
"Kalau itu jawabanmu, berarti terserah samamu lah. Nggak laku samaku keras kepala," ucap Bapak dengan nada ketus.
Aku mengabaikan kemarahan Bapak yang meledak redam untuk menunjukkan ekspresi kekecewaannya secara tidak langsung.Â
Dia mencoba menelan kemarahannya karena harapannya bahwa aku memilih di fakultas hukum atau ekonomi tidak akan tercapai.