Tiga puluh menit kami merangkak dari motor di atas kepadatan orang-orang. Selama ini, aku pun merenungkan bagaimana nanti Linda menanggapi hubungan kami.
Sebuah kegundahan yang benar-benar menggangguku, bagaimana mungkin aku harus meninggalkannya yang begitu manis? Baginya, saat ini hubungan kami seperti permainan. Pikiran ini menggangguku.
Firasat itu sangat jelas. Perkiraannya dimulai dengan kemungkinan dia memberikan kekecewaan. Dia menganggap aku memberi tanda-tanda. Pergi ke luar kota tanpa pemberitahuan. Ini upaya melarikan diri.
Linda tidak harus memberi persetujuan, tetapi setidaknya dia harus mengetahui sejak pertama aku memasukan Brawijaya ke kampus pilihan.
Pikiranku yang hanyut kembali ke dasar arus. Cuaca sangat dingin. Linda turun dan bergegas mencari tempat duduk untuk kami, menjauh dari gemercik hujan.
"Aku harus pergi. Mungkin kau kecewa?" kataku membuka pembicaraan.
"Kecewa? Nggak lah. Kau sendiri yang pilih ini."
"Mantap. Kau paham juga. Aku kira kau bakal marah."
"Nggak juga. Kecewa sama marah ada, tapi kau bakal tahu hal begini di hidup selalu ada konsekuensi. Aku udah biasa hadapin hal ginian," balas Linda.
Segalanya berjalan baik. Aku berpikir, semuanya jauh dari apa yang aku bayangkan sebagai hal buruk.
"Aku mau kita tetap komunikasi. Biar jauh, gak harus putus hubungan kan?" kataku meminta kepadanya