Sebagai staff PBB, Aida mendapat tempat khusus untuk pergi bersama rombongan PBB. Aida berusaha memanfaatkan posisinya agar suami dan dua putranya, Hamdija dan Sejo, diizinkan ikut dalam rombongan PBB.
Namun, sang Kolonel melarang keikutsertaan keluarga Aida meski berkali-kali diminta. Jangan ada perlakuan khusus terhadap keluarga Aida.Â
Ia memastikan kepada Aida bahwa keluarganya dan warga sipil lainnya tetap aman dalam pengawasan pasukan PBB sehingga suami dan anak-anak lelakinya harus ikut ke rombongan sipil.
Hingga akhirnya, suami dan anak-anak Aida terangkut ke dalam truk yang telah disiapkan. Dengan tangan terlipat di belakang kepala, para pria dari muda hingga lanjut usia diantar menuju sebuah bangungan bertingkat menyerupai flat.
Mereka masuk ke dalam kamar kosong diiringin teriakan pasukan bersenjata Serbia Bosnia. Mereka tampak tak berdaya menghadapi situasi dan kenyataan yang akan datang. Pasukan keluar ruangan dan mengambil ancang-ancang untuk melepaskan tembakan ke para lelaki dari ventilasi. Eksekusi dilakukan. Suami dan anak-anak Aida, bersama lelaki lainnya tewas.
Film Quo Vadis, Aida? memperlihatkan bagaimana dua sifat kekejaman dan kebaikan hampir sulit dikenali dalam konflik mengerikan. Dua sisi saling bertolak ini justru tampil dalam wajah Mladic.
Ia semula tampil meyakinkan sebagai orang baik, menjamin keselamatan dan hidup damai kepada warga Muslim Bosnia justru pada akhirnya memperlihatkan sisi bengis darinya. Kolonel Karremans kadung mempercayai Mladic yang mengantarkan pengungsi berada dalam jurang maut.
Politik, kekuasaan dan sikap etnisitas berlebihan mengurat kuat di dalam kepala Mladic dan pasukannya. Film Quo Vadis, Aida? menerangkan genosida secara jelas sebagai perbuatan biadab dari nafsu seorang Jenderal bernama Mladic. Sayangnya, film ini tak membingkai muatan politik di belakang kejadian sehingga menguatkan bahwa pelaku tunggal pembantaian adalah pasukan Serbia Bosnia sendiri.
Sisi lain yang cukup menggetarkan hati, bagaimana keakraban dan kerukunan warga terpecah selama konflik. Ketika pasukan Serbia Bosnia datang ke pangkalan, Aida sempat bertegur sapa dengan salah satu pasukan yang merupakan muridnya semasa SMA.
Senyum terlontar di antara keduanya mengenang masa lalu yang hangat. Dalam pertemuan dengan muridnya, Aida tampak terkejut mengetahui posisi anak didiknya justru menjadi seorang yang sangat ditakutinya. Si murid menjadi bagian dari tewasnya 8.372 orang selama genosida Srebrenica dari 1 hingga 13 Juli 1995.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H