Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudah Saatnya Menyediakan Pendidikan Kedokteran yang Murah untuk Anak Bangsa

3 Mei 2021   17:39 Diperbarui: 3 Mei 2021   17:51 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter dan pasien. (Foto: Anthony Shkraba/Pexels)

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian terhadap kesehatan diri. Peduli terhadap diri sendiri, berarti ia peduli terhadap keselamatan orang lain.

Kita tahu penularan virus corona penyebab Covid-19 sangat cepat dan mudah antarmanusia lewat cipratan atau sentuhan tangan dari terinfeksi.

Tapi apa yang terjadi setahun ini, cukuplah untuk jadi bahan renungan. Perdebatan terus terjadi, kepatuhan sulit ditemukan.

Ukuran virus ini sangat kecil. Mata tak mungkin mengamatinya. Kita melawan apa yang tak terlihat, namun ia ada. Beberapa orang berspekulasi virus corona adalah akal-akalan. Bahkan, sangkalan pun datang dari orang yang pernah terinfeksi.

Syukurlah, ilmu pengetahuan membantu kita melihat wujud virus di bawah mikroskop elektron. Beberapa pakar kesehatan tampil untuk memberikan penjelasan agar publik memiliki pengetahuan terhadap masalah kesehatan.

Protokol kesehatan sudah menjadi pengetahuan bersama. Hampir semua orang tahu bagaimana protokol kesehatan bekerja. Kita diajak untuk mengenakan masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan sebagainya. Tujuannya, mencegah penularan virus corona.

Di samping itu, kita juga tahu bahwa pengendalian virus bisa dilakukan dengan cara melaksanakan vaksinasi.

Namun, pengetahuan tersebut cukup lama melekat di kepala. Apakah orang melaksanakan protokol kesehatan dan mau mengikuti pelaksanaan vaksinasi?

Mungkin kenyataan di lapangan lebih tepat sebagai jawabannya. Belum ada satu "resep" manjur yang mampu membujuk orang-orang patuh protokol kesehatan.

Pengetahuan kita pun kerap diajak berputar-putar. Logika diperas habis-habisan manakal pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang kesannya bertentangan. Maksud hati mencegah kerumunan, di sisi lain perekonomian harus berjalan yang membuat orang beraktivitas di luar rumah.

Akan tetapi, kita memerlukan rasa sakit itu untuk menumbuhkan kesadaran akan diri sendiri. Rasa jengkel dalam batas wajar juga diperlukan supaya jiwa terbangun dan otak bereaksi untuk berpikir.

Tatkala pandemi Covid-19 adalah masalah dan sumber dari rasa jengkel, timbul pertanyaan, bagaimana mengelola ketakutan ini supaya bermanfaat di masa depan?

Pengetahuan itu mencerahkan. Filsuf Socrates mengenalkan dialektika. Kita juga bisa mendekati pengetahuan itu melalui pengamatan kausal yang diajarkan Aristoteles.

Ia mengenalkan empat penyebab: penyebab material, penyebab formal atau bentuk, penyebab penggerak atau agen dan penyebab akhir yang mempertanyakan untuk apa sesuatu itu dilakukan?

Seperti Aristoteles, kita pun pernah bertanya dari mana asal virus ini ada? Bagaimana bentuknya? Pertanyaan menantang yang sama seriusnya dengan upaya kita mencerna dan mengidentifikasi informasi sebagai informasi benar, salah atau malahan hoax.

Di sini, kita dapat mendengarkan penjelasan ahli yang memaparkan dengan kapasitas pengetahuan luar biasa dan pertanggungjawaban. Salah-salah ucap, ini bisa berakibat fatal untuk keselamatan orang.

Hanya saja, seberapa banyak ahli kesehatan di Indonesia? Jumlahnya tak banyak. Demikian pula tantangan terhadap jumlah tenaga kesehatan. Rasio dokter di Indonesia termasuk yang terendah kedua di Asia Tenggara, sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk, sedangkan negara tetangga Singapura memiliki 2 dokter per 1.000 penduduk, mengutip laporan Katadata.

Artinya, kita masih memiliki tugas besar dalam memperbaiki sistem kesehatan.

Orang-orang berargumen bahwa kepatuhan adalah jalan terbaik untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Manakala seluruh rakyat Indonesia patuh melaksanakan anjuran pemerintah, maka bencana akan selesai. Gagasan yang terlalu sempurna.

Toh, keadaan saat ini tampak nihil yang menyebabkan keputusan terakhir tergantung pada individu sendiri. Masalah bersama justru dikembalikan pada masalah individu.

Namun, persoalan hari ini cukuplah hari ini. Ada masa depan yang harus disemai indah. Dan kita perlu menyiapkannya sejak sekarang.

Ini tentang pendidikan kesehatan. Kelak, generasi Indonesia mesti memiliki cukup SDM kesehatan yang mumpuni. Selain menutupi ketercukupan rasio tenaga kesehatan, pendidikan kesehatan diperlukan untuk mengantisipasi datangnya wabah tak terduga dengan virus lain.

Keingintahuan masyarakat begitu tinggi terhadap masalah pandemi Covid-19. Bill Gates yang dikenal sebagai pendiri Microsoft adalah salah satunya. Ia sering mengutarakan pendapat tentang virus corona, pandemi dan vaksin yang dikutip media.

Indonesia juga memiliki orang-orang yang antusias seperti Bill Gates. Keinginan menjadi dokter pun sudah tertanam sejak kecil yang bila ditanya, apa cita-cita anak-anak, jawaban populer yang terlontar adalah dokter.

Amat disayangkan bila potensi ini tak dikelola sebagai hal bermanfaat di masa depan. Mungkin, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dapat memikirkan bagaimana menyiapkan generasi Indonesia untuk terhubung dengan pendidikan kesehatan.

Salah satu persoalan yang harus dituntaskan adalah melenyapkan komersialisasi pendidikan kedokteran. Pembiayaan tinggi adalah hambatan terbesar bagi putra-putri Indonesia. Bukan rahasia umum bila ingin kuliah di fakultas kedokteran, orangtua mahasiswa perlu menyiapkan biaya ratusan juta rupiah.

Karena itu, pendidikan kedokteran sering dipandang sebagai pendidikan untuk mereka yang berpunya. Cita-cita anak kecil pun kandas. Dokter kerap ditampilkan sebagai profesi elit walau jalannya adalah pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.

Akses pembiayaan harus diringankan. Kuba adalah salah satu negara yang menyediakan pendidikan kedokteran secara gratis dengan lulusan kompeten dan terlatih. 

Tiap tahun, Kuba mengirim tenaga medis ke negara-negara berkembang sehingga menjadikan dokter sebagai kekuatan diplomasi luar negeri mereka (soft power). Ini jalan pengabdian sesungguhnya dari Kuba.

Apakah Indonesia bisa melaksanakan hal demikian? Tentu saja, ya. 

Setidak-tidaknya, ada harapan besar supaya negara menyediakan akses untuk memerdekakan rakyat mengenyam pendidikan kedokteran dengan lulusan berkualitas yang tak disandera untuk memikirkan cara mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan selama di perkuliahan.

Pendidikan menjadi penting lagi untuk membasmi keluguan terhadap dunia kesehatan. Kasus alat rapid test bekas yang baru-baru ini terkuak di bandara Kualanamu, Sumatera Utara sebenarnya membuktikan bahwa tindakan jahat muncul karena keluguan.

Orang dengan teganya memberikan alat usap bekas saat ia tahu beratnya perjuangan untuk mengurangi kasus terinfeksi. Pelaku bisa jadi orang lugu terhadap moral, atau ia menganggap orang-orang di luar sana lugu tentang masalah kesehatan. Selamat merayakan hari pendidikan nasional!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun