Uang dan sepak bola sulit dipisahkan walau idealnya keduanya harus menjaga jarak. Harus diakui, finansial adalah faktor pendorong untuk menjamin keberlangsungan sepak bola. Uang bisa menyebabkan klub bangkit, bisa pula menurunkannya sampai ke titik paling memalukan.
FC Schalke 04Â merasakannya pada musim ini. Entah bagaimana ceritanya, Schalke 04 saat ini harus duduk di jurang klasemen Bundesliga dengan jumlah kemenangan hanya dua biji dari 29 pertandingan.
Salah satu penyebab kemunduran Schalke 04 adalah badai krisis keuangan akibat pandemi Covid-19.Â
DWÂ mengabarkan Schalke menutup laporan keuangan 2018-19 dengan utang hampir 200 juta Euro dan diperkirakan akan meningkat menjadi 250 juta Euro pada akhir tahun 2020.
Masalah keuangan memperlihatkan bagaimana Schalke 04 harus melakukan penghematan. Ofisial klub dan pelatih pergi, pemain kehilangan kepercayaan diri adalah komplikasi dari dampak krisis keuangan.
Direktur pemasaran Alexander Jobst, pun berpikir untuk melakukan perubahan besar untuk mengubah tim menjadi lebih komersial.Â
Jobst mengusulkan perubahan struktural di Schalke, mengubah klub dari klub yang 100 persen dikendalikan anggota menjadi kemitraan perusahaan demi memperbaiki masalah keuangan klub. Jelas saja, rencana itu menuai kecaman keras dari para pendukung Schalke 04.
Di atas adalah sebagian contoh bagaimana sepak bola di satu sisi menyajikan sportivitas, kompetisi, moralitas yang didirikan atas prinsip sosial harus berdamai dan mendahulukan kepentingan kapital dan keegoisan para elit sepak bola.
Konsep invisible hand dari Adam Smith tepat untuk menggambarkan kondisi sepak bola di Eropa saat ini.
Meski UEFA dan para pemilik klub elit terlihat bersitegang atas format kompetisi sepak bola Eropa, nyatanya, mereka bergerak pada satu konsep yang sama: kepentingan individu lebih diutamakan demi menguntungkan masyarakat secara luas.
Kompetisi harus dibawa ke pasar untuk menjamin keberlangsungan. Terlebih raksasa perbankan AS JP Morgan sudah siap melakukan pembiayaan terhadap kompetisi tersebut.