Satu persoalan kesenjangan tentang akses dan kesempatan bisa teratasi. Pecatur atau talenta manapun harus berani mengembangkan diri dan mengalami perjuangan.
Bagaimanapun, kesenjangan saat ini mesti diakui menjadi penghambat untuk pengetahuan atau literasi digital sebelum sampai pada kesadaran bahwa media sosial adalah ruang untuk berbagi (sharing).
Karena itu, ketika pengakuan tak terjangkau, warganet mencoba pelbagai cara untuk membuktikan bahwa dia benar.
Kebetulan, media sosial adalah ruang terbuka dan siapapun mudah mengaksesnya selama tersambung ke jaringan internet.Â
Warganet dari latar apapun mendapatkan medium yang tepat untuk meluapkan suaranya.
Tentu komentar "menyerang pribadi" terlontar bukan karena ia diperoleh dari pengetahuan, melainkan dari keyakinan yang diperoleh lewat opini atau argumen.
Ini menjadi celaka bila keyakinan mendahului pengetahuan sejati yang diperoleh lewat penelusuran, pengujian dan pembuktian.
Konteks keyakinan di sini bukan tentang agama, tetapi keyakinan tentang pra-anggapan seperti orang tua lebih tahu dari anak muda, keyakinan bahwa sarjana lebih pintar dari bukan sarjana.
Kokohnya keyakinan mesti diimbangkan dengan pengetahuan sejati.
Tujuannya, untuk mendekatkan pada kebenaran dan alasan praktis, supaya meminimalisir sekecil mungkin hal-hal yang tanpa disadari ternyata bisa berdampak merusak.
Serbuan ke akun media sosial Levy Rozman di luar urusan percaturan dan duduk persoalan keduanya adalah salah satu contohnya.