Pemerintah khususnya Kepolisian RI mesti memikirkan cara kreatif dalam mencegah dan meminimalisir terjadinya ujaran kebencian di media sosial. Baru-baru ini, Polri memberikan teguran virtual police (VP) kepada akun WhatsApp yang diduga melakukan tindak pidana ujaran kebencian.
"Jangan berpikir, ah kalau kami memfitnah orang, menyebarkan kebencian, kalau pakai platform tertentu aman nih," kata Kabag Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan di Gedung Humas Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 1 Maret 2021, dikutip dari OkeZone.
Kombes Ahmad mengatakan, hal tersebut menunjukkan setiap platform media sosial turut dipantau oleh Bareskrim Polri.
Ia menegaskan pihaknya hanya memantau, bukan menyadap akun pengguna. Tujuannya, memberikan edukasi ke masyarakat sehingga tak terjerumus dalam kasus pidana.
Untuk sampai diberi teguran, pengguna terlebih dahulu melaporkan konten yang diduga bermuatan pidana tersebut. Setelah itu, Kepolisian menelusuri kebenaran laporan untuk ditindaklanjuti.
"Ini misalnya ya, ada di grup itu (Whatsapp), kemudian ada yang melapor ke polisi, dia screenshoot dong. Terus akunnya dilacak," ujar Kombes Ahmad.
Selain pengirim, penerima mesti bijak menilai kontenÂ
Pemantauan akun WhatsApp menjadi persoalan menarik karena platform ini sejatinya dianggap medium yang tepat dalam berinteraksi membahas hal-hal bersifat intim antar pengguna walau batasan privat masih kabur bagi sebagian pengguna.
Meski pesan terenkripsi end-to-end, pengguna cukup sering mengumbar tangkapan layar percakapan mereka ke media sosial, terutama di Twitter. Pengguna Twitter mengenalnya dengan istilah spill the tea untuk membongkar modus-modus tertentu.
Masalah yang diumbar dari tangkapan layar percakapan menyangkut persoalan modus penipuan, pencurian, kejahatan seksual, gagal nikah, hingga bentuk kelakuan tak menyenangkan lainnya dari pengguna.
Warganet yang menyimak postingan itu akan berdebat panjang-lebar memberikan tanggapan di kolom komentar. Di situ, ada pemilahan. Mereka menyarankan mana hal yang patut diselesaikan secara pribadi, mana yang layak untuk diperbincangkan khalayak umum.
Definisi opini publik tentu berbeda dalam terminologi hukum, berbeda lagi dalam terminologi ilmu politik, dan rumpun ilmu sosial lainnya. Karena itu topik ujaran kebencian sejauh ini terus menjadi pokok perdebatan bagi para ahli.
Baiklah ihwal langgam ujaran kebencian ini, katakanlah publik sudah tahu bentuk dan tujuan si pengirim adalah provokasi yang mengarah pada kekerasan.
Persoalan sekarang ada pada tanggapan si penerima, bagaimana dia mesti menyikapi ujaran yang disampaikan pengirim. Ada orang yang mudah sekali tersinggung, ada yang menganggap itu bukan masalah serius dan menyikapinya secara bijak.
Sebagaimana tadi diutarakan Kombes Ahmad, tujuannya adalah edukasi, artinya ada pengetahuan yang diberikan. Tentunya, pengetahuan dalam konteks yang dimaksudkan sebatas pengetahuan pada adanya ancaman pidana bila seseorang melakukan ujaran kebencian.
Efektif sementara waktu
Upaya kepolisian ini mengingatkan pengalaman semasa saya menjalani hidup dan pendidikan SMA di asrama dahulu. Aturan mengatakan siswa dilarang merokok. Sanksinya tegas, siswa bersangkutan akan dikeluarkan.
Ternyata aturan itu kerap dilanggar sehingga membuat rektor yang sudah kesal menuturkan, boleh merokok asal jangan ketahuan. Dari semula dilarang kemudian diperbolehkan.
Tetapi, tuturan rektor tadi tak berarti bahwa ia mengizinkan siswa asrama merokok, melainkan menebar ancaman bahwa siswa diawasi, entah diawasi guru atau teman-teman siswa itu sendiri.
Ia hanya peduli pada penegakan aturan di asrama. Masalah perbuatan siswa merokok adalah tanggungjawab individu masing-masing yang memiliki konsekuensi dikeluarkan dari asrama dan harus mencari sekolah lain.
Penuturan rektor tersebut efektif untuk mencegah perilaku siswa merokok di dalam asrama. Tetapi, siswa tak kehabisan akal mencari siasat dengan mencari tempat aman merokok di luar asrama.
Larangan merokok dan ujaran kebencian memiliki kedudukan bahwa kedua perbuatan tersebut mesti dihindari atas kesadaran bahwa perilaku tersebut dapat merusak secara biologis dan sosiologis.
Ada pendisiplinan tetapi efektivitasnya kemungkinan hanya terlihat sementara waktu.
Adanya pengawasan terhadap platform media sosial, terlebih WhatsApp di satu sisi memberikan rasa aman, namun dapat juga menimbulkan rasa kurang nyaman terhadap masyarakat.
Lalu apa yang harus dilakukan? Akan lebih tepat untuk mengalihkan masyarakat melakukan kegiatan positif di bidang seni, sastra, kreatif, olah raga dan semacamnya.Â
Dukung kegiatan-kegiatan yang mempertemukan masyarakat pada hal-hal edukatif yang menghibur dan menyenangkan. Ruang ini seharusnya diciptakan oleh pemerintah sehingga orang akan memiliki kemampuan untuk berpikir dialektis terhadap dirinya dan di luar dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H