Aku merasa kesalahan ini timbul karena antisipasi yang tidak dipasang sejak awal. Kecurigaan yang tidak pernah aku lakukan.Â
Aku menghubungi Amanda, dua panggilan terlewati. Pada panggilan ketiga, suara itu akhirnya terdengar di ujung panggilan telepon. Aku meminta Amanda meluangkan waktu untuk bertemu.Â
Semula dia mencari alasan-alasan untuk menolak sampai akhirnya dengan rasa memelas dia menerima ajakan tersebut. Tidak lain, tujuanku untuk mencari tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Hanya ingin tahu, hanya itu.
"Orang itu, siapa namanya?" ucapku.
"Siapa? Aku nggak paham."
"Lelaki yang menjemputmu sejak tawuran itu."
Amanda mengeluarkan senyum dalam garis lengkung kecil. Baginya, sosok lelaki tersebut bukan sesuatu yang harus aku ketahui. Namun, tanggapan kosong tersebut menambah rasa penasaran untuk menyudahi asumsi yang kudapatkan lewat penggalian informasi di media sosial lelaki itu.
"Tawuran itu soal kebebasan, aku perlu menikmati sesuatu yang tidak biasa dilakukan. Lagipula, sejujurnya, aku merasa senang untuk berhubungan kepada siapapun."
"Termasuk kepadaku?"
"Nggak sama sekali. Aku hanya menghargai pertemanan di antara kita. Aku tidak menyangka kamu berpikir sejauh ini tentang pertemanan kita. Dan aku mencintaimu, ya untuk kata-kata yang bisa aku sampaikan kepadamu tetapi nggak akan bisa lebih dari ini. Lelaki itu, anggaplah dia adalah orang dekat yang membuatku merasa nyaman untuk membincangkan segala hal kepadanya," kata Amanda
Jawaban Amanda dari suara yang tertahan senyum sinis membangun kekecewaan. Aku mampu menepis prasangkaku sebab aku sangat leluasa menikmati wajah manisnya lebih dalam yang menghapus kecemburuanku.