Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kaya Pemenang, Miskin Pecundang, dan Mitos-mitos soal Kompetisi

8 Maret 2021   22:06 Diperbarui: 9 Maret 2021   05:06 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang kaya. (Foto: Pixabay/Aproductions)

Berkat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, separuh lebih penghuni bumi terhubung dalam interaksi di platform digital. 

Asalkan perangkat, software dan jaringan menyala, maka luas dunia akan mengecil dan menyempit sebatas kemampuan tubuh untuk sanggup menjelajahinya dari tempat ia berdiam.

Semakin mudah orang terhubung, semakin banyak informasi harus dicerna dan dikelola. Karena itu, sering digaungkan era digitalisasi di satu sisi dikatakan sebagai disrupsi, sementara yang lain memandang sebagai kompetisi terbuka.

Namun, tak mungkin menyalahkan ketidakmampuan adaptasi orang-orang ke dunia digital sebagai penyebab tunggal disrupsi.

Jarang dipahami orang, kompetisi terbuka dan bebas telah banyak membentuk orang sebagai pemenang dan pecundang. Anda bisa menemukan contoh untuk mengkonfirmasi hal tersebut dari teman atau publik figur.

Pemenang dan pecundang melahirkan kaya dan miskin secara timpang. Fakta tak terlihat seperti apa adanya. 

Ambil contoh media pada hari yang sama melaporkan kenaikan dan penurunan harta kekayaan Elon Musk dan Jeff Bezos.

Publik cukup tahu siapa orang terkaya di dunia, lalu pada berita berikutnya, media melaporkan bantuan stimulus Presiden Joe Biden untuk pengangguran dan orang-orang yang jatuh miskin akibat pandemi Covid-19.

Tentu media tak mengajak orang berkompetisi untuk maju mengikuti jejak sukses Musk dan Jeff melalui pemberitaan mereka.

Persoalan kekayaan menjadi fokus pembahasan di negeri Paman Sam. Pendukung Partai Demokrat dari kaum progresif, seperti halnya Bernie Sanders yang mahfum pada kompetisi justru menawarkan kenaikan pajak pada orang kaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.  

Isu ketimpangan ada di mana-mana. Bila dahulu, kerap menyasar negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sekarang negara adidaya Amerika harus berjuang.

Kita telah lama menikmatinya, tetapi mereka tak mungkin harus belajar dari kita. Ini semata-mata soal keberanian mengambil keputusan dan menggunakan wewenang.

Tak heran bila pandemi membuat Presiden dan cendekiawan Amerika memfokuskan pikiran untuk keselamatan negaranya. 

Jika dahulu Trump dikenal dalam terminologi perang dagang AS-China, Joe Biden si kalem yang tak berkicau sembrono di Twitter hadir sebagai pengumpul vaksin untuk kepentingan dalam negerinya. Lawannya adalah negara-negara berkembang yang kesulitan akses terhadap vaksin Covid-19.

Hal yang tak ikut berubah di era digitalisasi

Teknologi baru menguntungkan sebagian orang, namun tak berfungsi alias macet dalam konteks mengandaikan kehebatan yang diilustrasikan sebagai gagasan revolusi industri 4.0. Pertumbuhan ekonomi tetap negatif pada tahun lalu.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin per September 2020 mencapai 27,55 juta orang atau naik menjadi 10,19 persen dibandingkan September 2019 mencapai 24,79 juta orang pada posisi 9,22 persen. 

Rasio gini melebar menjadi 0,385 pada September 2020, naik 0,004 poin dari Maret 2020 yang juga meningkat dari periode September 2019.

Dari tuntutan untuk masuk ke ruang digital, ketika semua orang terpaksa bertransformasi, ada hal lama dipertahankan dan tak berubah sepanjang revolusi industri sekarang. Kepemilikan aset dan kecenderungan pasar mengarah pada monopoli.

Di lain hal, isu terbaru menguak bahwa hak paten harus mengalami pembaruan. 

India dan Afrika Selatan mengajukan penangguhan sementara hak paten atas informasi yang relevan dengan produksi vaksin dalam keadaan luar biasa untuk menekan biaya produksi dan ketersediaan vaksin ke seluruh dunia.

Kampanye ini mendapat dukungan. Paus Fransiskus menaruh perhatian terhadap ketersediaan vaksin Covid-19 yang memungkinkan negara-negara miskin hanya menerima vaksin yang tersisa. Serikat Jesuit mengkampanyekan dukungan penangguhan hak paten.

Hak paten yang melindungi kekayaan intelektual sekarang berubah menjadi penghalang dalam menghasilkan banyak vaksin Covid-19 untuk dibagikan ke seluruh dunia. 

Tuntutan untuk menangguhkan hak paten menyebar luas mengingat krisis lebih cepat menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan.

"Perusahaan farmasi harus mengizinkan vaksin Covid-19 diproduksi seluas mungkin dengan membagikan pengetahuan mereka tanpa hak paten," tulis Aliansi The People's Vaccine.

Digitalisasi memberikan kesempatan dan akses pasar kepada banyak orang. 

Namun, soal baru muncul mengenai akses untuk "mengetahui". Jadi, tak ada kompetisi yang seratus persen benar-benar adil. 

Kondisinya berbeda dibanding cerita Plankton berusaha mengetahui resep rahasia Krusty Krab dari Tuan Eugene Krab dalam serial kartun Spongebob Squarepants.

"Banyak pemimpin bisnis, pakar kebijakan kesehatan, dan pejabat pemerintah khawatir jika kapasitas vaksin ditentukan lewat aturan kekayaan intelektual daripada kebutuhan, virus akan terus menyebar dan bermutasi sementara kampanye vaksin berlarut-larut," tulis Will Meyer, kontributor Business Insider pada 27 Februari lalu.

Kalangan jurnalis dan perusahaan media Australia kelimpungan dalam usaha menyebarkan berita-berita independen dan akurat akibat porsi iklan yang lebih banyak diberikan kepada Facebook dan Google.

Hal ini sepadan disandingkan pada masalah importasi barang murah dari China via e-commerce yang menjadi ancaman bagi pelaku UMKM. 

Pelaku usaha dan pedagang yang selama ini mapan bisa tumbang dan menjadi bagian lain dari orang yang kalah di era digitalisasi.

Meski sudah digaungkan lama, masalah belum terurai. Presiden Joko Widodo baru-baru ini kembali angkat bicara menyinggung soal importasi pada 4 Maret 2021.

Dugaan sudah lama mengemuka untuk menjelaskan gambaran umum atas persoalan importasi barang murah, dari kemungkinan subsidi pemerintah China terhadap eksportir, taktik perdagangan sampai pada masalah dalam negeri menyangkut infrastruktur distribusi logistik Indonesia.

Kita tahu apa yang dilakukan China yang mampu mengubah industri manufaktur mereka dengan sangat cepat.

Sementara dari dalam negeri, kita juga tahu tingkat pendapatan dan daya saing produk lokal turut mempengaruhi fenomena importasi barang konsumsi ini.

Kompetisi dalam pasar bebas tampaknya menjanjikan sekaligus membuat orang kalap untuk "membunuh" pesaing. Taktik lama predatory pricing dimainkan. Cara lama di dunia baru.

Bila Raja Louis XIV di Prancis dahulu menancapkan kekuasaannya secara absolut dengan mengklaim diri negara adalah saya (L'etat c'est moi), maka sekarang kecenderungannya berpindah kepada kaum jenius mapan. 

Mark Zuckerberg lewat Facebook menunjukkan power mereka dengan memblokir unggahan dan penyebaran berita media Australia dari platformnya ketika pemerintah mengumumkan kebijakan baru yang mengharuskan perusahaan teknologi membayar konten berita kepada media.

Padahal media Australia sudah banyak kehilangan pemasukan akibat pergeseran iklan dan perubahan digitalisasi yang membuat mereka bersusah payah menggaji jurnalis terutama dalam masa pandemi Covid-19.

Media tak memiliki akses dan wewenang untuk menentukan algoritma di platform perusahaan teknologi. Mereka harus menyesuaikan tiap perubahan algoritma, tetapi menjadi memberatkan karena praktik jurnalisme berbeda dibanding mesin Google atau Facebook dalam menentukan konten yang layak didistribusikan dan disebarluaskan.

Seperti dikemukakan di atas, regulasi terhadap Facebook semata-mata soal keberanian mengambil keputusan dan menggunakan wewenang. 

Sebaliknya, Facebook tampil untuk menegaskan mereka memiliki kekuatan dan tak bisa ditekan, mengingat sebelumnya mereka pernah ditekan dalam skandal Cambridge Analytica. 

Setelah melewati perdebatan sengit, Facebook dan media Australia dilaporkan telah mencapai kompromi.

Ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang mengajak masyarakat cinta produk lokal sekaligus "benci produk asing", maka tak menutup kemungkinan bahwa regulasi pun harus diperbarui dengan ketentuan yang sama mengejutkannya. 

Selanjutnya adalah kompromi. Tak ada pemenang dan tak ada pecundang dalam kompromi. Orang-orang Indonesia sudah terampil untuk beradaptasi, membela, ikhlas dan bertahan, tinggal mengikuti implementasi kebijakan dan urusan selesai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun