Hampir sulit menghindari importasi karena tiap negara saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Eddie Rinaldy, Denny Ikhlas, dan Ardha Utama dalam buku Perdagangan Internasional (2018) menyebutkan hubungan antarnegara di bidang perdagangan internasional dapat terjadi karena beberapa faktor di antaranya:
1. Revolusi informasi dan transportasi
2. Ketergantungan
3. Liberalisasi ekonomi
4. Keunggukan komparatif
5. Kebutuhan devisa
Jadi, selain mengekspor produk, kita tentunya melakukan importasi produk dari negara lain. Di sini, berlaku pertukaran dan negosiasi yang menentukan keberhasilan perjanjian perdagangan.
2. Kebutuhan bahan baku dan bahan penolong
Industri, baik skala kecil dan besar, masih perlu bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri.
Sebagai contoh, kedelai untuk usaha tahu-tempe. Sebagian besar kedelai diimpor dari Amerika Serikat.
Musabab kita harus impor kedelai adalah produktivitas kedelai di Indonesia lebih rendah dibanding produktivitas kedelai di AS mengingat kedelai lebih cocok ditanam di wilayah sub-tropis.
Sebenarnya bagaimana menggenjot daya saing dan produktivitas komoditas dalam negeri sudah menjadi isu sejak dahulu kala. Presiden Jokowi pada 2014 lalu pernah menargetkan Menteri Pertanian swasembada kedelai.
Hal lainnya, industri dalam negeri selama ini cukup banyak tergantung pada impor barang modal tidak baru (BMTP). Ini berhubungan dengan investasi untuk menggenjot kinerja produksi. Di samping itu, pabrik luar negeri akan membawa mesin dari negara asal saat relokasi ke Indonesia .
Jokowi pada 4 Maret 2021 juga menginginkan supaya penurunan importasi terjadi pada barang konsumsi bukan pada barang modal atau bahan baku.
Untuk melihat lebih luas, kita dapat memperhatikan pemberitaan mengenai transaksi berjalan. Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan pada 2020 sebesar USD 4,7 miliar atau 0,4 persen dari PDB.