Euforia Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berlangsung di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara tampaknya meredup. Dinamika di tubuh partai itu menentukan warna demokrasi Indonesia.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan KLB tersebut ilegal dan inkonstitusional. Semula pernyataan AHY terkesan biasa mengingat kencangnya suara konflik internal di partai tersebut sebelumnya sudah mengerucut pada upaya menggantikan posisinya di pucuk kepempimpinan.
Setelah KLB dilaksanakan, Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Demokrat versi KLB, sekarang keadaan mulai berbalik arah.
Riak-riak di media sosial dan pemberitaan yang merayakan KLB tidak mempan lagi sebab ujung dari KLB ini pada akhirnya penegakan peraturan perundang-undangan.Â
Tiap pihak yang bertikai berlomba untuk pengakuan sekaligus mencari keadilan. Ruang mufakat atau kompromi agaknya sukar terbuka untuk kubu AHY dan Moeldoko karena kekeuh dengan pendirian masing-masing.
Masyarakat, pengamat dan politisi di luar partai Demokrat juga sudah meletakkan perhatian pada aspek legalitas pelaksanaan KLB.
Jhoni Allen Marbun, pimpinan sidang KLB, mengatakan segera mendaftarkan hasil KLB ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), laporan CNN Indonesia.
Sebelumnya, dalam sejumlah kesempatan wawancara di media, Jhoni selalu menyampaikan Partai Demokrat harus terbuka dan modern. Ihwal yang membuat dia merasa berseberangan dengan kepemimpinan partai yang menempatkan AHY, putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai Ketua Umum Demokrat.
Tetapi, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng menganggap KLB yang diklaim dihadiri 1200 peserta itu adalah abal-abal lantaran tidak dihadiri pemilik suara sah untuk pemilihan ketua umum sebagaimana termuat dalam AD/ART partai. Andi meyakini KLB tidak dihadiri satu ketua DPD Partai Demokrat.
"Sebut satu saja ketua DPD yang hadir (di KLB Sibolangit). Biar publik melihat, agar yang hadir ini benar-benar yang pemilik suara," kata Andi Mallarangeng di 'Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne', Sabtu, 6 Maret 2021, mengutip Viva.co.id.
Ia menjelaskan, sesuai ketentuan AD/ART Partai Demokrat, untuk memilih ketua umum mesti memperoleh izin ketua majelis tinggi partai, dalam hal ini dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, memenuhi 2/3 suara DPD dan 50 persen suara DPC dari keseluruhan DPC yang ada.
SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dalam konferensi pers menanggapi pelaksanaan KLB kemarin turut menyoroti legalitas pelaksanaan kongres tersebut.Â
Ia bahkan mengaku mendengar informasi AD/ART partai telah diubah sehingga Moeldoko dapat terpilih sebagai ketua umum.
"Saya dengar ada akal-akalan dari pihak KSP Moeldoko dan para pelaku kudeta bahwa sebelum mengangkat KSP Moeldoko menjadi ketua umum Partai Demokrat ilegal, AD dan ART yang sah diubah dan diganti dengan AD dan ART versi KLB Deli Serdang sehingga penobatan KSP Moeldoko dianggap sah, pertanyaannya apa bisa begitu?" kata SBY.
Sementara Jhoni Allen mengatakan bahwa dirinya percaya bahwa UU Parpol lebih tinggi dari pada AD/ART.
Lonceng kematian Partai Demokrat
Terpilihnya Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB tidak terlalu mengejutkan lantaran namanya sedari awal sudah banyak disinggung dalam konflik internal partai mencuat awal Februari lalu.
Ia sempat membatah terlibat dalam urusan internal partai, namun pada akhirnya menerima tampuk kepemimpinan partai versi KLB.Â
Jalan Moeldoko masih panjang dan terjal. Di sisi lain, dia tidak berangkat sebagai kader partai Demokrat yang tidak mengesankan bahwa dia jatuh bangun dalam membangun partai ini, alasan yang selama ini menyasar kepada AHY.Â
Bagaimanapun kepengurusan versi KLB harus mendapat pengesahan dari Kemenkumham.
Pengamat politik Saiful Mujani menuliskan amatan tentang dinamika usai pelaksanaan KLB Partai Demokrat melalui akun Twitter, Sabtu (6/3/2021).
Ia mengatakan, andai Kemenkumham mengakui hasil KLB dan membatalkan kepengurusan AHY, maka lonceng kematian Partai Demokrat semakin kencang.
AHY, katanya, dapat menggugat ke pengadilan yang biasanya hanya bisa selesai di Mahkamah Agung. Akan tetapi, mekanisme ini memakan wkatu lama yang kemungkinan bisa melewati masa tenggat daftar Pemilu 2024.
Bagaimana peluang Moeldoko bila ternyata Partai Demokrat Moeldoko ikut dalam Pemilu? Pertanyaan tersebut terbenak oleh Saiful. Ia menarik ingatannya ke belakang.
"Saya tak bisa membayangkan PD bisa besar dan bahkan terbesar pada 2009 tanpa SBY. Suka ataupun tidak itu adalah fakta. Moeldoko bisa gantikan itu? Seperti mantan Jenderal-Jenderal lainnya memimpin partai, KSP ini tak lebih dari Sutiyoso, Hendro, Edi Sudrajat, yang gagal membesarkan partai," kata Saiful.
Ia memperkirakan pada 2024, Partai Demokrat bisa menjadi seperti Hanura sekarang yang hilang di parlemen setelah Wiranto tidak lagi memimpin partai tersebut.
Presiden Jokowi mesti bersikap. Saiful menekankan bahwa manuver Moeldoko yang merupakan Kepala Staf Kepresidenan "membunuh" Partai Demokrat.Â
"Hasil akhir dari manuver KSP Moeldoko ini adalah membunuh PD. Demokrat mati di tangan seorang pejabat negara. Backsliding demokrasi Indonesia makin dalam, dan ini terjadi di bawah Jokowi yang ironisnya ia justeru jadi presiden karena demokrasi."
"Pelemahan demokrasi ini bisa dihentikan dengan mencegah negara ikut campur internal partai sebagai pilar utama demokrasi. Presiden punya wewenang lebih dari cukup untuk menghentikan kemerosotan demokrasi ini. Tapi ini sebagian tergantung pada komitmen presiden untuk demokrasi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H